16/10/10

Eksplanasi Teoritis-Imajinatif Kesuksesan HSRT Windu


 @Ibnu Sahidhir
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan beberapa penyebab kesuksesan berkelanjutan pada HSRT udang windu di Bireuen. Kesuksesan ini jelas bukan milik hari ini tapi ia berawal di masa lampau ketika orang Jepang masih menggunakan metode mesocosmosnya untuk mulai memelihara larva udang. Berbeda dengan improvisasi teknik Galveston yang mencoba mengolah pakan dan kotoran di luar system. 



Teknik tradisional ini mengandalkan input untuk perkembangbiakan pakan alami, proses gerak rantai makanannya dan daur ulang kotoran ada di dalam system. Mirip sebuah pemerintahan tradisional ala kerajaan dimana hukum, hakim dan pelaksana undang-undang di tangan satu orang, sang raja. Sistem alam selalu mengandalkan keseimbangan sedangkan tak ada keseimbangan tanpa ada dinamika dan tak ada dinamika tanpa suksesi dan tak ada suksesi yang berhasil tanpa ada keanekaragaman penyusun system ekologis. 

Akibatnya bisa kita prediksi secara tepat yakni rendahnya produktifitas system, walau kita gunakan istilah ‘kembali ke alam’ begitu indah dan memukau. Ingat: hidup di alam nyata tidak benar-benar alamiah tapi ia dibuat dengan persepsi pengetahuan manusia yang terbatas. Dari keterbatasan inilah kita bangkit. Pemerintahan modern contoh yang cukup elegan untuk membandingkan ekosistem kolam. Dalam system ini pembuat hukum, pelaksananya dan pejabat pengadilannya terpisah dan saling control, semua mengkhususkan diri dan mengembangkan masing-masing.



Secara alamiah matahari membangkitkan unsur-unsur di bumi menjadi bagian dari molekul hidup lewat tumbuhan. Setelah itu diperlukan waktu yang cukup agar tumbuhan ini layak dimakan oleh makhluk hidup diatasnya. Dibutuhkan waktu pula agar makhluk kedua ini berkembang hingga kebutuhan makhluk berikutnya tercukupi secara layak. 

Dalam ekosistem kolam unsur dasar utama pembangkit kehidupan itu adalah NPK, karbon dari udara dan hydrogen-oksigen dari air. Sulfur sering ada secara berlebih di air laut. Unsur-unsur ini diambil dari tanah asli, air tak murni, atau input sengaja manusia melalui pupuk buatan. Namun untuk menjadi bahan makanan diperlukan proses dan proses itu tidak selalu berhasil tepat. Ketidaksabaran ini membuahkan campur tangan manusia yang disebut pakan. Manusia dengan energinya menggerakkan semua molekul kehidupan menuju ke mulut udang.  

Bayangkan jika Anda menebar pupuk dan Anda kesulitan untuk memprediksi jumlah pupuk berapa akan menjadi fitoplankton berapa dan menjadi zooplankton berapa dan akan menjadi berapa gram biomassa udang. Mata rantainya terlalu panjang. Dan mata rantai yang terlalu panjang terbukti lemah, sama juga dengan bisnis. Dan bayangkan betapa mudahnya jika Anda langsung memberi pakan dengan dosis tertentu dan dapat diukur hasilnya, tidak selamanya bergantung pada kemurahan matahari. Tidak selamanya yang alami itu baik, jangan tergoda slogan selalu berpikir jernihlah. 

Sistem modern adalah system yang terpartisi. Sistem Galveston yang sukses mengkultur pakan alami terpisah dan menakar pakan buatan. Menebar larva menebar pakan, lalu melihat hasilnya dan jadilah kurva-kurva. Betapa jenius gagasan ini. Jika Anda tebar sekian Anda harus memberi pakan ini, saat ini dan dengan dosis ini maka hasilnya ini. Mudah bukan ? dan inilah ruh modernitas. Mekanisasi dan standardisasi yang menggejala cermin meningkatnya kemampuan prediktif manusia.

Namun sayang, saking termekanisasinya semua menjadi latah. Perlakuan terhadap air baru menjadi sama di semua tempat semua waktu. Semua harus di kaporit. Biar cepat pakai netralkan dengan thiosulfat. Biar sehat semua larva harus diberi pakan buatan yang jelas kadar gizinya. Biar aman berikan antiseptic tiap hari. Biar cepat tumbuh tambahkan mangsa lezat dari Amerika. Dan lain-lain.

Kawan kita yang lugu dari ujung Sumatra dengan tekniknya yang sederhana mampu menghasilkan larva udang terbaik dan termurah dengan kepadatan 80 ekor/L  bahkan lebih tentu dengan ijin Allah, nama Tuhan yang mereka sembah. Air laut cukup ditreatment dengan filter pasir berlapis-lapis dan disedot ketika butuh dan tak perlu disimpan lama-lama di tandon. Simpan-pakai-habis-keringkan tandon. 

Air jernih tak berkaporit dan berNa2S2O3 cukup alami untuk menyimpan elemen-elemen mineral mikro dan renik. Tak terganggu oleh Cl- dan Na2+ tambahan. ‘Air tidak mati’ kata sang Guru bersahaja. Elemen mikro dan renik dengan proporsi seimbang sesuai kondisi alamiahnya akan merangsang pertumbuhan makhluk hidup yang baik. Ia adalah pembantu katalisator enzim yang memperlancar metabolisme.

Larva ditumbuhkan dengan  susu udang alam “skeletonema, diatom laut yang segar” selaras dengan nasehat sang Guru Pertama, Fujinaga. Untuk mengikuti mode, sesekali ditambahkan juga pakan buatan. Tiga-tiga kata mereka, tiga kali pakan buatan dan tiga kali pakan alami selang seling. Fitoplankton bertahan lebih lama di air dibanding pakan buatan. Kandungan proteinnya yang rendah tidak membuat air cepat rusak. Dinding selnya yang kuat, mampu menahan pembusukan sitoplasma sehingga tetap berlangsung dalam sel. Lemaknya yang banyak cukup mendukung pembentukan syaraf pertama. Seratnya adalah penyuplai karbon yang awet bagi bakteri dan fungi sehingga suksesi mikroorganisme berjalan lambat. Dan itu membuat situasi menjadi lebih baik. 

Coba bayangkan bila pakan buatan diberikan 100%, mari kita hitung:
Dosis pakan 0,7 ppm protein 45% diberikan 6 kali sehari
asumsi = N 16%, ekskresi N 70%
maka diperoleh total ammonia nitrogen = 0,3 ppm
Diasumsikan ammonia tak terionisasi 10% = 0,03 ppm NH3
Dalam 3 hari kondisi ini akan menjadi berbahaya apalagi jika pakan diberikan 8 kali sehari dengan dosis yang sama.

PL awal disuapi dengan nauplii artemia, salah satu kontribusi besar Amerika dalam budidaya udang. Namun ia tidak banyak cuma tiga kaleng per juta benih. Sifat alamiah dari sel hewan yang sedikit berkarbon akan menyebabkan mudahnya terjadi pembusukan di air. Bahkan cacahan dan cairan nauplii dari kunyahan larva ketika makan pun punya peran penting menurunkan kualitas air. Ditambah cangkang atau membrane telur yang menjadi rumah mikroorganisme membuat sup ini semakin bergizi. 

Alternatifnya, Air lebih sering diganti ketika busa-busa muncul dan sulit hilang, pertanda biofilm bacterial terlalu banyak. Dasar bak lebih sering disiphon karena yang padatlah yang sulit terbuang. Namun bagi cara Pesisir Timur, yang bergizi tadi langsung dinetralisir oleh karbon sisa dinding-dinding fitoplankton yang terendap. Jadilah air-air ini sup bergizi yang sehat penuh mikroorganisme bermanfaat, penghasil vitamin B12, asam amino dan layak disebut bioflok. 

Catatan:
Semua hal diatas berawal dari yang empiris ke teoritis atau lebih tepatnya teoritis-imajinatif. Berawal dari yang nyata ke yang abstrak. Bukan mengarang teori lalu mencari bukti, bukan itu. Jadi untuk tulisan ini, Saya berlawanan dengan cara neodarwinismenya Richard Dawkins.