16/10/10

Akuakulturis kita perlu diupgrade


 @Ibnu Sahidhir
Bagi saya praktek akuakultur sangat menarik. Namun ketika Anda mulai mendalaminya dan berkecimpung di dalamnya sekian lama akan timbul kebosanan karena kegiatan hariannya itu-itu saja. Saya kira ini sama di lapangan keterampilan lain. Teknologi yang digunakan tahun lalu yang itu, sekarang yang itu, hasil kelangsungan hidup dan pertumbuhan itu-itu juga. Ini membuat pikiran jadi mandek. Inginnya sih SR 100%, pertumbuhan meningkat 10% tiap siklus tapi dengan teknologi dan genetic udang yang itu-itu saja apa yang bisa diperbuat. Membaca saja jelas bagi kebanyakan akuakulturis bukan selalu jawaban karena mengimplementasikan bacaan dalam praktek bukan hal mudah. Kenapa ? karena bagi para praktisi yang diharapkan selalu solusi, dan umumnya diminta untuk yang mendesak. Jika Anda mencari jawab di google untuk mengatasi pertumbuhan udang Anda yang lambat dan jawabannya adalah ecdysteroid buatan apakah ini solusi? Bukan ! ini info yang mengarahkan ke solusi. Solusinya sendiri masih jauh. Jauh bagaimana?
Orang perlu tahu bentuk ecdysteroid itu seperti apa dimana dapatnya, berapa harganya, efektif tidak, bagaimana cara pemberiannya dan lain-lain yang dapat Anda ketahui jika Anda mengalaminya sendiri.
Akuakulturis dianggap mampu mengekstrak sendiri pengetahuan dan keterampilan mereka dari pengalaman keseharian, tidak seperti para laboratorist yang selalu dibantu mengupdate skill mereka tiap tahun. Prasangka ini sangat mengenaskan yang telah membuat akuakulturis kita semakin tak bermutu. Mungkin karena terlalu nyatanya alam kerja mereka. Sayang sekali cuma sedikit akuakulturis yang bisa secara berkala bepergian ke tempat-tempat akuakultur sukses dan mengambil keterampilan disana (Saya sedang tidak membahas motivasi pribadi akuakulturis, hal ini jelas beragam dan sangat menentukan kualitas seseorang)
Tidak usah berkata global, petambak-petambak kita umumnya  bahkan kurang menasional, artinya pergaulan nasional pun tidak (bukan pernyataan untuk beberapa orang yang tidak seperti ini). Engineer kita juga nasibnya sama. Berapa proporsi engineer yang bisa mengenal, akrab bertukar pengalaman dan saling berkunjung terhadap para engineer lain di seberang pulau ? mungkin tidak banyak jika Saya melihatnya dari pengalaman sendiri.
Apakah mereka berhubungan ?  Apalah artinya berhubungan dengan sekedar telpon. Untuk sukses sebagai mesin perang, Jepang mengirim anak-anak mudanya belajar di angkatan laut Inggris dan angkatan darat Jerman. Untuk sukses Turki memaksakan diri mengirim pasukan Janisarinya yang kolot untuk belajar di Italia. Dan sekarang mereka sukses, bukan karena baca buku dan diskusi via surat. Mereka melihat sendiri teknologi dari para maha guru dan merasakan betapa teknologi yang berbeda itu ditunjang oleh pola pikir dan pola tindak yang berbeda. Jadi mereka sadar apa yang harus dipertaruhkan untuk meniru mereka yang lebih sukses. Ini fakta sejarah.
Orang terlahir sama-sama cerdas namun kebudayaan dan institusi sosialnya lah yang mengijinkan dia menjadi sehebat dan secerdas apa. Kebudayaan dan social dibangun dan diruntuhkan oleh revolusi social secara sengaja atau dipaksa keadaan. Revolusi kebudayaan Bung Karno terhitung gagal karena pemberantasan ilmu-ilmu adikodrati dan pembentukan masyarakat berbasis sains tidak terwujud.
Jadi apa solusinya?
Refleksi sejenak: Solusi yang sifatnya social harus dikaji dari hokum social (itupun kalau ada). Hukum social yang paling mudah diketahui orang adalah sejarah karena ia bersifat retrodiktif mengkaji pola-pola yang telah lalu memberinya penjelasan dan mencoba prediktif tentang masa depan. Dan sejarah membuktikan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang suka jalan-jalan. Amerika sukses karena Eropa. Eropa seperti sekarang ini karena Timur Tengah. Timur Tengah jaya di abad pertengahan karena belajar dari Romawi. Romawi hebat karena merampok pengetahuan Yunani. Yunani terkenal karena belajar ke Mesir. Mesir bertahan karena belajar dari Sumeria dan Babilonia. Sumeria dan Babilonia bangun karena mereka memperbudak Yahudi. Semua kait mengait. Pengetahuan menyebar lewat komunikasi langsung.
Ketika mereka berhubungan langsung akan timbul rasa persaudaraan. Tidak ada untungnya membantu orang asing (Tolong jangan berdebat tentang moral dulu). Mereka akan membuat jaringan. Jika terbentuk satu kepentingan dan tujuan mereka akan berorganisasi. Tidak usah pemerintah menghimbau karena selalu organisasi yang resmi berawal dari percakapan-percakapan pinggir jalan seperti negara berawal dari pembentukan suku. Pertukaran pengetahuan akan bersliweran tiap hari di bis-bis antar propinsi, di tambak-tambak rakyat, di saung-saung yang sejuk, di pesawat terbang yang menderu, di suara-suara hp, di chat room warnet atau bahkan di WC-WC umum. Betapa membahagiakan. Semua petambak terhubung secara emosional, berita menyebar dengan cepat dan Indonesia semakin bersatu. Bukankah kita menginginkan ini.
Sangat bodoh untuk memaksa orang bodoh cepat-cepat menelurkan ketrampilan hebat. Lebih bodoh lagi mereka yang tidak memahami ini. Solusi terjelas adalah kirim para petambak gagal ke petambak sukses. Trainingkan engineer berkualitas sedang kepada para engineer terbaik secara teratur. Buat secara berkala, buat anggaran. Ijinkan sejenak mereka mencontek. Biarkan mereka berkhayal. Dukung mereka untuk selalu berkunjung dan beri dana. Pertemukan mereka di acara-acara resmi. Jangan pernah ragu dengan solusi ini. Lalu lihat apa yang terjadi !