28/09/10

Peningkatan Kualitas Bioflok

 @Ibnu Sahidhir
Keseimbangan ekologis di air bak indoor sangat lemah. Mikroalga sebagai buffer ekologis sedikit berperan karena jumlah yang insignifikan. Sedangkan inokulasi sembarang mikroalga ke dalamnya tidak bermanfaat karena kurang berkembang disebabkan kurang pencahayaan. Selain itu keasaman air  juga bertambah karena tingginya produksi CO2 dan rendahnya daya serap CO2 dalam air akan menurunkan ukuran bioflok (Murthy, 1998). Keduanya akan menurunkan kualitas flok mikroba dalam dua hal yakni menurunnya keanekaragaman nutrisi bioflok karena rendahnya populasi mikroalga dan kecilnya ukuran flok karena pH turun. Hal ini dapat diatasi dengan memasukkan alga yang dapat tumbuh di lingkungan perairan minim cahaya dan mampu menggunakan bahan organic dan pemberian mineral polivalen sebagai pengikat partikel-partikel pembentuk flok. Dengan demikian ukuran flok semakin besar dan nutrisinya pun meningkat.
Tetraselmis sp


Peningkatan Kualitas Bioflok dengan Inokulasi Mikroalgae Mixotrof (Tetraselmis Sp.) dan Kation Divalen (CaCO3)

Oleh: Ibnu Sahidhir

1.        Pendahuluan

Udang Lambouh memiliki kemungkinan cukup besar untuk menggantikan Udang Vannamei. Dari segi ukuran, Udang Lambouh lebih besar dari Udang Vannamei.  Selain itu, sampai saat ini Udang Lambouh belum banyak terjangkiti penyakit berbahaya. Keunggulan lain Udang Lambouh yakni dapat dipijahkan tanpa ablasi mata dengan kelulushidupan sampai PL 12 mencapai >40% (BBAPUB, 2009). Sedangkan pembesarannya mampu menghasilkan ukuran >10 gr dalam waktu 2,5 bulan dengan SR >70% (Supriatna, Personal komunikasi). Namun demikian pengembangan udang ini terhambat oleh kekurangan induk dari alam. Oleh karena itu, kebutuhan induk hasil budidaya sangat mendesak.
Satu alternatif teknik budidaya udang yang sedang popular saat ini adalah teknik bioflok. Keberhasilan teknik bioflok telah diklaim di beberapa tempat seperti Israel dengan komoditas Tilapia, Indonesia dan Belize dengan Udang Vanname, dan Australia dengan Udang Windu. Penggunaan teknik ini di Indonesia pada budidaya Vannamei telah berhasil menurunkan FCR sebesar 20% dengan hasil 50 ton udang/ha dengan panen bertahap (Taw, 2008). Dengan demikian percobaan teknik bioflok untuk membesarkan calon induk Udang Lamboh layak dikaji
Teknik bioflok bertujuan meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan dengan pembentukan biomass mikroba makroagregat dari bahan organik dan senyawa terlarut (Serfling, 2006). Telah diketahui secara luas bahwa berdasarkan hukum kekekalan massa banyak materi pakan tidak terserap menjadi biomass udang. Flok mikroba ini diharapkan mampu memanfaatkan materi tersebut dan akhirnya dapat menjadi bahan makanan tambahan bagi udang (Midlen and Redding, 1998). Beberapa hal penting yang menentukan kualitas bioflok adalah nilai nutrisi, aman dan palatable untuk dikonsumsi dan berukuran cukup besar sehingga layak dimakan oleh udang.
Keseimbangan ekologis di air bak indoor sangat lemah. Mikroalga sebagai buffer ekologis sedikit berperan karena jumlah yang insignifikan. Sedangkan inokulasi sembarang mikroalga ke dalamnya tidak bermanfaat karena kurang berkembang disebabkan kurang pencahayaan. Hal ini akan menurunkan kualitas flok mikroba karena rendahnya populasi mikroalga berarti menurunkan keanekaragaman nutrisi bioflok. Selain itu bertambahnya keasaman air karena rendahnya daya serap CO2 dalam air akan menurunkan ukuran bioflok (Murthy, 1998). 

 Tetraselmis dalam flok muda
 Telah lama dikenal oleh para phikolog bahwa mikroalga memperoleh energy untuk berkembang dapat berasal dari cahaya matahari, menyerap senyawa organic, bahkan memakan bakteri secara langsung. Jenis mikroalga yang mampu memanfaatkan cahaya dan bahan organic (glukosa, gliserol, asam asetat, asam laktat, dan asam amino) disebut mikroalga mixotrof  (Gladue, 1991). Hampir setiap filum mikroalga memiliki spesies yang memiliki sifat mixotrof. Contohnya Chlorella, Isochrysis, Tetraselmis, dan Gymnodinium.
Hasil kajian uji heterotrof untuk Tetraselmis sp dengan memberikan larutan gula 10-100 mM menunjukkan adanya peningkatan kadar karbohidrat dan protein (Stottrup and McEvoy, 2003). Namun demikian, kultur gelap dengan hanya memberikan gula menurunkan kadar lemak dan pigmen karotenoidnya (Day and Tsavaloz, 1996)
Penambahan Tetraselmis sp. tidak serta merta meningkatkan ukuran bioflok. Ini disebabkan karena penambahan partikel organic yang berion negative (anion) tidak menunjang laju flokulasi. Penambahan kation secara teoritis dapat meningkatkan laju flokulasi.  Namun besarnya ukuran bioflok dipengaruhi oleh banyaknya valensi unsur tersebut. Bioflokulasi dengan penggunaan kation divalent cukup ideal sedangkan ion logam dengan valensi diatas dua umumnya menghasilkan bioflok yang kurang aman untuk dikonsumsi. Bahan yang murah dan mudah didapat sebagai sumber kation divalent adalah dolomite CaMg(CO3)2. Hasil penguraiannya akan bereaksi dengan gugus karboksil bermuatan negative membentuk ester sehingga meningkatkan flokulasi partikel detritus dan kumpulan mikroba (Murthy, 1998).
Kedua perlakuan ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas bioflok. Pada akhirnya, peningkatan nutrisi bioflok dan kualitas air dapat memperbaiki pertumbuhan dan kelangsungan hidup.  Sasaran dari kegiatan adalah:
1.        Diperoleh ukuran bioflok >100 um, TAN <2 ppm.
2.        Dicapai kelangsungan hidup calon induk Udang Lambouh >70% pada akhir pemeliharaan.
3.        Dicapai pertumbuhan yang lebih baik antara calon induk Udang Lambouh pada pemeliharaan dengan teknik bioflok dibanding kontrol

Kerangka Pemikiran



Pengertian Bioflok
            Bioflok adalah pemanfaatan mikroorganisme pembentuk flok (flocs forming bacteria) untuk pengolahan limbah. Bioflok terdiri atas mikroorganisme (bakteri, ragi, fungi, protozoa, fitoplankton), dan detritus yang diikat oleh senyawa biopolymer (karbohidrat, lemak, protein), dan kation divalent. Teknik pengolahan limbah dengan bioflok diadopsi oleh akuakultur untuk mereduksi bahan-bahan organik dan senyawa beracun yang terakumulasi dalam air pemeliharaan ikan. Pemanfaatan fitoplankton masih terbatas pada lingkup pengurangan kandungan ammonia air sedangkan bahan-bahan organic sisa pakan dan feses kurang tertangani. Unsur-unsur pembentuk bioflok dapat diringkas seperti dibawah ini.  

Mikroba
Biopolymer (lektin, asam uronat, PHA/PHB)                    Bioflok
Kation divalent (Ca, Mg, Fe)

Mekanisme Pembentukan Bioflok
Terbentuknya bioflok secara ilmiah belum disepakati. Akan tetapi hasil kajian terkini menunjukkan arah sebagai berikut. Mikroorganisme seperti bakteri dengan kemampuan lisis bahan organic memanfaatkan detritus sebagai makanan. Sel bakteri mensekresikan lendir metabolit dan biopolymer (polisakarida, peptide dan lipid) atau senyawa kombinasi dan terakumulasi disekitar dinding sel serta detritus. Dua senyawa biopolymer dengan gugus karboksil (COOH) membentuk ester dengan ion divalent (Murthy, 1998). Ikatan-ikatan ini meningkatkan massa kumpulan partikel dan menjadikan inti kumpulan bersifat hidrofobik dan tepinya bersifat hidrofilik sehingga terjadi dewaterisasi (Bitton, 2005). Diameter yang semakin besar menjadikan flok terendap dan dapat dimanfaatkan oleh udang sebagai makanan tambahan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan keberhasilan bioflok adalah cukupnya kesediaan oksigen (>4 ppm) dan tidak adanya titik mati. Pembentukan bioflok berkualitas memerlukan perbandingan C/N/P sekitar 100:10:1. Namun demikian detritus tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh mikroorganisme. Setiap senyawa dapat diubah menjadi biomass bakteri dengan efisiensi tertentu (Aiyushirota.com). Berikut ini nilai konversi dari senyawa organik tersebut :

Senyawa organik                     Konversi menjadi bioflok (%)
Karbohidrat                             65‐85
Alkohol                                   52‐66
Protein                                     32‐68
Lemak                                     10‐60
Kasein                                     50‐53
Glukosa                                   49‐59
Sukrosa                                   58‐68


1.      Alat
a.       Bak pemeliharaan calon induk
b.      Filter bag
c.       Perlengkapan aerasi (kran, selang, pemberat dan batu aerasi)

2.      Bahan
a.       Calon induk udang lambouh ukuran +10 gr 600 ekor
b.      Pakan calon induk (pellet udang CP 40%, ikan rucah)
c.       Mikroalga mixotrof (Tetraselmis sp.)
d.      Kapur dolomite
e.       Probiotik (Bacillus sp.)
f.       Molase

Persiapan wadah/bak dan pemeliharaan calon induk.
Bak pemeliharaan calon induk berukuran 10 ton dicuci dan diisi air sebanyak 80% kapasitasnya. Calon induk udang lambouh dipelihara dengan padat tebar awal 300 gr/m3. Calon induk diberi pakan pellet 3% berat tubuh/hari dan pakan segar 10% berat tubuh/hari. Pengamatan terhadap flok dilakukan setiap hari secara visual dan mikroskopis. Antisipasi dilakukan dengan pergantian air 10% atau siphon.

Pembuatan bioflok starter
Ke dalam air bersih ( tawar atau asin ) ditambahkan molase dengan konsentrasi 1%, vitamin B1, B6, B12, serta bibit bakteri Bacillus sp komersil. Campuran diaerasi dan diaduk selama 24‐48 jam, pH dibuat antara 6,0‐7,2. Bioflok diberikan setelah diameter partikel flok >100 um.

Penggunaan bioflok starter
Inokulan bioflok diberikan dengan dosis 200 ppm setiap hari selama 1‐2 minggu berturut turut. Selanjutnya ketika bioflok sudah terbentuk dapat diberikan dosis lanjutan 100 ppm per hari. Penambahan molase dapat diberikan pada awal budidaya ketika jumlah karbon masih relatif rendah di kolam.

Pemberian Tetraselmis sp. (microalgae mixotrof) dan kapur dolomite
Setelah seminggu pemeliharaan dan flok mulai terbentuk, Tetraselmis diberikan sampai kepadatan 10.000 sel/ml. Kapur diberikan secara incidental untuk mempertahankan pH antara 7,3-8,0.

Pengamatan
Pengamatan dilakukan secara rutin terhadap:
1.        Kondisi warna air dengan melihat secara visual di tempat terang
2.        Pengamatan sedimen untuk melihat keanekaragaman mikroorganisme dan kondisi bahan organik
3.        Pengamatan suspensi untuk melihat ukuran partikel teraduk.
4.        Pengamatan kualitas air: DO, pH, salinitas, redox, suhu, intensitas cahaya
5.        Pengukuran total vibrio



Daftar Pustaka

Bitton, G. 2005. Wastewater Microbiology. John Wiley and Sons. Canada. 746 p.

Day, J.G. and A.J. Tsavaloz. 1996. An investigation of the heterotrophic culture of the green alga Tetraselmis. Journal of Applied Phicology. Issue – Volume 8, Number 1 / January, 1996

FAO, 2003, Health Management and Biosecurity Maintanance in white shrimp (Penaeus vannamei) hatcheries in Latin America, FAO Fisheries Technical Paper. No. 450. Rome, FAO, 62 pp.

Gladue, R. 1991. Heterotrophic Microalgae Production: Potential Application to Aquaculture Feeds. In Rotifer and Microalgae Culture System, Fulks and Main (eds). Oceanic Institute, Hawaii. 275-286 p.

Hee-Mock, O. et al. 2001. Harvesting of Chlorella vulgaris using a bioflocculant from Paenibacillus sp. AM49. Biotechnology Letters 23: 1229–1234.

Landau, M. 1992. Introduction to Aquaculture. John in Wiley and Sons. New York. 440 p.

Midlen, A. and Redding, T.A. 1998. Environmental Management for Aquaculture. Chapmann and Hall, New York. 240 p.

Murthy, S. N. and Novak, J. T. 1998. Influence of cations on effluent quality in Bioflocculation: Implications for Activated Sludge Properties and Wastewater Treatment. Ph.D. Dissertation. Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University. 152 p

Serfling, S. A. 2006. Microbial Flocs: Natural Treatment Method Supports Fresh-Water, Marine Species in Recirculating Systems. Global Aquaculture Advocate, June 2006.

Stottrup J.G. and McEvoy, L.A. 2003. Live Feeds in Marine Aquaculture. Blackwell Science, New York. 317 p.

Taw, N. 2008. Partial Harvest/Biofloc System Promising for Pacific White Shrimp. Global Aquaculture Advocate, September/Oktober 2008.

Whetstone, Jack M. Treece, Gravil D. Browdy, Craig L and Stokes, Alvin D. 2002. Opportunities and Constraints in Marine Shrimp Farming. SRAC Publication No. 2600

Www.aiyushirota.com, “Konsep Budidaya Udang Sistem Bakteri Heterotrof dengan Bioflocs”