31/07/10

Identifikasi Permasalahan Persiapan Tambak

 @Ibnu Sahidhir
Persiapan lahan yang baik terbukti meningkatkan kelulushidupan dan pertumbuhan ikan peliharaan. Persiapan lahan yang salah akan mengakibatkan kerugian biaya karena penggunaan bahan-bahan, waktu dan tenaga kerja tidak tepat dan kerugian dikarenakan menurunnya produktifitas lahan. Tujuan dari tulisan ini adalah (1) mengumpulkan data tentang tata kelola persiapan tambak oleh petambak Aceh Jaya (2) menganalisa secara deskriptif tata kelola persiapan tambak oleh petambak Aceh Jaya. Metode yang digunakan yakni observasi lapangan dan wawancara. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa petani tambak memulai proses persiapan tambak dengan pembersihan lahan, lalu dilanjutkan pemberantasan hama dengan saponin, pengapuran dan pemupukan. Dosis penggunaan bahan-bahan persiapan tambak kurang tepat. Pemberantasan hama memperlihatkan banyak ikan kompetitor mati, akan tetapi petambak menganggap bangkai ikan hasil pemberantasan hama tidak perlu dibuang. Pengeringan total cukup sulit dilakukan tanpa pompa air. Oleh karena itu setelah pemberantasan hama, tanpa pengeringan dilanjutkan dengan pengapuran. Hasil pemupukan menunjukkan warna air hijau pekat dan beberapa masih dalam keadaan bertumbuh. Sedangkan satu diantaranya mengalami kegagalan. Hubungan antara kecerahan dengan pertumbuhan ikan belum dipahami petambak.



Kata-kata kunci : persiapan tambak, Aceh Jaya

Saran pengutipan: Sahidhir, I. 2009. Identifikasi Permasalahan Persiapan Tambak di Kecamatan Jaya, Aceh Jaya. www.artaquaculture.blogspot.com

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PERSIAPAN TAMBAK
DI KECAMATAN JAYA, ACEH JAYA

 Oleh :
Ibnu Sahidhir S.Pi.


BAB. I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hal yang cukup menentukan keberhasilan bertambak adalah persiapan lahan yang baik. Persiapan lahan yang baik terbukti meningkatkan kelulushidupan dan pertumbuhan ikan peliharaan secara nyata. Pemahaman terhadap kondisi lahan dan air setiap lokasi sangat penting untuk merumuskan teknik persiapan lahan yang paling cocok dan tepat. Persiapan lahan yang salah akan mengakibatkan kerugian biaya karena penggunaan bahan-bahan, waktu dan tenaga kerja yang tidak tepat dan kerugian dikarenakan menurunnya produktifitas lahan (Golez, 2008).

Tujuan persiapan tambak adalah untuk memperoleh kondisi lingkungan yang optimal bagi kultivan secara fisik, biologi dan kimia. Kegiatan ini meliputi pemberantasan hama, pengeringan tambak, perbaikan pematang, perbaikan pintu air, perbaikan caren dan saluran air, pengapuran tambak, pemasukan air dan penyiapan air media (Kumar, 2009).

Pemberantasan hama akan meningkatkan kelangsungan hidup ikan karena hilangnya predator sekaligus meningkatkan pertumbuhan secara tidak langsung karena tidak adanya kompetitor makanan dan ruang. Pengeringan tambak, perbaikan konstruksi dan pengapuran bertujuan untuk mempersiapkan tanah sehingga mampu menahan air dengan optimal dan memperbaiki pertukaran kation-anion antara tanah dan air. Penyiapan air dengan pemupukan akan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan pakan alami yang akan secara langsung pula mendukung pertumbuhan ikan (Adiwijaya et al, 2001).

Jadi, manfaat akhir persiapan lahan adalah meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan kultivan secara langsung atau tidak langsung.

1.2. Tujuan

1. Mengumpulkan data tentang tata kelola persiapan tambak oleh petambak Aceh Jaya.
2. Menganalisa secara deskriptif tata kelola persiapan tambak oleh petambak Aceh Jaya.

1.3. Waktu dan Tempat
Kegiatan ini dilaksanakan pada 25-27 September 2009 di Kecamatan Jaya, Aceh Jaya.


BAB II. TEORI


Persiapan Tambak
Tujuan Persiapan tambak adalah untuk memperoleh kondisi lingkungan yang optimal bagi kultivan secara fisik, biologi dan kimia. Kegiatan ini meliputi pemberantasan hama, pengeringan tambak, perbaikan pematang, perbaikan pintu air, perbaikan caren dan saluran air, pengapuran tambak, pemasukan air dan penyiapan air media (Golez, 2008).

Pemberantasan Hama
Pemberantasan hama dilakukan pada saat masih ada air. Bahan yang digunakan adalah pestisida sintetis (contoh; brestan, kaporit) dan pestisida nabati (contoh; saponin, akar tuba, tembakau). Pestisida sintetis diberikan saat air dalam kondisi macak-macak (5 cm) dengan disebar merata, kemudian dibiarkan selama 15-21 hari agar trisipan terbunuh total. Ini dapat dipercepat dengan mengangkat trisipan. Saponin bisa diberikan sebagai pengganti pestisida sintetis. Kaporit bisa diberikan untuk memberantas ikan dan krustase liar dengan ketinggian air 15-25 cm (Kumar, 2009).

Pengapuran
Dasar tambak dikeringkan dengan kondisi lembab, kemudian lumpur diangkat ke pematang sekaligus memperbaiki pematang yang bocor. Bila pH tanah kurang dari 6,5 pengapuran perlu dilakukan dengan dosis 500-1000 kg/ha. Kapur diberikan 60% sebelum pembalikan tanah dan 40% sesudah pembalikan tanah (sedalam 20 cm). pengeringan total bisa dilakukan 7-10 hari jika intensitas cahaya matahari mencukupi. Kegiatan yang seiring dengan proses ini adalah perbaikan pintu dan pemasangan saringannya (Adiwijaya et al, 2001).

Pemupukan
Penyiapan air media dianggap cukup jika kondisi kualitas air stabil. Sebelum air dimasukkan kelayakan pH tanah harus dicek terlebih dulu. Air dimasukkan pada saat pasang tinggi (1,2-2,4 m) dengan memeriksa kualitas sumber air terlebih dulu. Air perlu dibiarkan 2-5 hari setelah terisi penuh untuk mengetahui tingkat perembesan dan penguapan. Air kemudian diperiksa kelayakannya. Jika kondisi kualitas air dinyatakan layak maka bisa dilakukan pemberian pupuk anorganik (urea 200-300 kg/ha dan TSP/NPK 50 kg/ha) atau pupuk organik (kompos 3 ton/ha atau kotoran hewan 1-3 ton/ha). Dalam waktu 7-10 hari pakan alami akan tumbuh (fitoplankton dan makroalga) (Kumar, 2009).


BAB III. TATA KERJA

3.1. Sumber dan Jenis Data

Sumber data primer pada assesment ini adalah petambak dan tambak di desa di Kecamatan Jaya, Aceh Jaya yakni meliputi Desa Lamtui, Desa Jambo Msi, Desa Krueng Ateuh. Nama-nama petambak yang diambil datanya ditunjukkan oleh tabel 2.
Tabel 1. Responden Petambak di Kecamatan Jaya
No. Nama Petambak Desa Luas (ha)
1. Bukhari Jambo Masi 0,2
2. Nasrol Jambo Masi 0,3
3. Muhammad Lamtui 0,8
4. Jailani Lamtui 0,26
5. Mulyadi Krueng Ateuh 0,4
6. Idram Krueng Ateuh 0,5
7. Zamzami Umar Krueng Ateuh 0,2
8. Jafaruddin Lhok Kruet 0,3
9. Hamdani Lhok Kruet 0,25
10. Darmin Blang Monloum 0,425
Total 3,835 ha

Data primer berupa data tentang kondisi tambak dan perlakuan yang telah dilakukan petambak terhadap tambak masing-masing.

3.2. Peralatan Persiapan Tambak

Peralatan persiapan tambak yang digunakan adalah sechidisk setinggi 1 m untuk mengukur kecerahan air. Hasil persiapan tambak difoto dengan kamera DSLR resolusi 17 MP

3.3. Prosedur Kerja

1. Data persiapan lahan diambil dengan cara survey langsung ke setiap tambak dan wawancara dengan petambak.
2. Dijelaskan kepada petambak cara persiapan lahan yang benar kemudian dilakukan diskusi untuk secara teknis disesuaikan dengan kondisi lahan tambak masing-masing.
3. Diperagakan kepada petambak ciri-ciri hasil persiapan tambak yang baik berupa standar pengukuran kecerahan berdasarkan sechidisk.

3.4. Analisis Data
Data dianalisis secara deskriptif. Persiapan lahan tambak yang telah dilakukan petambak dibahas sesuai dengan beberapa referensi persiapan lahan dan mempertimbangkan kondisi lahan di lapangan. Pemahaman petambak hasil diskusi dan wawancara dijelaskan secara deskriptif.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Kondisi Tambak Hasil Persiapan Lahan

Para petambak di Desa Jambo Masi/Lamtui dan Desa Lhok Kruet/Blang Monloum pada umumnya melakukan pembersihan lahan kecuali di Desa Krueng Ateuh. Dosis penggunaan lahan kurang tepat. Dosis treatment lahan pada umumnya berada diatas level yang dianjurkan. Perbedaan dosis mencapai 20%-150% dari ideal.


Pemberantasan hama cukup berhasil dengan ditunjukkan oleh banyaknya bangkai ikan kompetitor yang mati mengapung di permukaan air. Dari diskusi dengan petambak diperoleh gambaran bahwa petambak menganggap bangkai ikan hasil pemberantasan hama tidak perlu dibuang. Bangkai berguna sebagai pakan bagi benih ikan.

Pengeringan total cukup sulit dilakukan tanpa pompa air. Oleh karena itu setelah pemberantasan hama, semua petambak menabur kapur ketika tambak masih digenangi air. Efek yang dapat dilihat secara langsung dari pengapuran adalah bertambah jernihnya air tambak

Beberapa diantaranya telah melakukan pemupukan. Hasil pemupukan menunjukkan warna air hijau pekat dan beberapa masih dalam keadaan bertumbuh. Sedangkan satu diantaranya mengalami kegagalan. Petambak dapat memahami cara penggunaan secchidisk untuk mengukur kecerahan. Petambak dapat mengambil kesimpulan bahwa kecerahan merupakan indicator utama kondisi pakan alami dalam tambak.


1. Desa Jambo Masi dan Desa Lamtui

Persiapan lahan tambak di Desa Jambo Masi/Lamtui hampir dilakukan seluruhnya, kecuali sebuah tambak. Petambak Desa Jambo Masi/Lamtui melakukan pembersihan lahan selama satu minggu yakni antara 15-20 September. Para petambak melakukan proses pemberantasan hama, pengapuran dan pemupukan dalam 1 hari sekaligus.

Tambak pertama dilakukan pembasmian hama dengan dosis 125 kg saponin/ha. Pengapuran dilakukan dengan dosis 110 kg dolomite/ha. Setelah itu, pupuk urea diberikan sebesar 25 kg/ha. Empat hari berikutnya tumbuh plankton hijau akan tetapi mengambang di permukaan air.

Tambak kedua dilakukan pembasmian hama dengan dosis 88 kg saponin/ha. Kemudian dilanjutkan pengapuran dengan dosis 188 kg dolomite/ha. Lalu pupuk urea diberikan sebesar 125 kg/ha dan SP36 sebanyak 63 kg/ha. Tiga hari setelah itu tumbuh plankton hijau pekat yang menyebar ke seluruh bagian air tambak.

Tambak ketiga dilakukan pembasmian hama dengan dosis 100 kg saponin/ha. Dua hari berikutnya dilanjutkan pengapuran dengan dosis 200 kg dolomite/ha. Pemupukan dilakukan pada hari itu juga sebesar 77 kg urea/ha dan 77 kg SP36/ha. Tiga hari berikutnya tumbuh plankton hijau muda di seluruh bagian air tambak.

2. Desa Krueng Kareng Ateuh

Tambak di Desa Kr. Ateuh belum disiapkan secara baik. Sehingga persiapan lahan belum dilakukan sama sekali. Petambak menganggap rumput di tengah tambak tidak akan mengganggu proses budidaya. Jadwal persiapan lahan belum jelas. Pemberantasan hama dan pengapuran akan langsung dilakukan tanpa pembersihan lahan dan pengeringan total.

3. Desa Lhok Kruet

Persiapan lahan tambak di Desa Lhok Kruet baru mencapai tahap pembersihan lahan. Rencana pemberantasan hama, pengapuran dan pemupukan telah dibuat.

Sebagai pengecualian, Tambak keenam telah melakukan pemberantasan hama dan pengapuran. Seperti halnya petambak lain, pembersihan lahan dilakukan selama satu minggu. Pembasmian hama dilakukan pada tanggal 15 September 2009 dengan dosis 118 kg saponin/ha. Pada hari itu juga dilanjutkan pengapuran dengan dosis 235 kg dolomite/ha. Pemupukan direncanakan dilakukan pada tanggal pada hamper dua minggu berikutnya.

4.2. Pembahasan

Secara umum petambak belum memahami cara persiapan lahan tambak yang baik. Persiapan lahan dimulai dengan pengeringan total. Hal ini rupanya sulit dilakukan petani karena kondisi dasar tambak lebih rendah dari saluran air. Penggunaan pompa untuk membuang air akan membebani petambak. Kurang keringnya tambak juga menambah dosis saponin yang digunakan, dimana diperlukan dosis 10 ppm atau 10 gr bahan aktif saponin per ton air (Golez, 2008).

Para petambak tidak membuang sebagian sisa-sisa ikan mati. Mereka menganggap ikan mati dapat menjadi pupuk atau makanan ikan yang akan ditebar. Ikan mati akan menyebabkan naiknya populasi bakteri di perairan. Kondisi tambak tradisional yang rendah DO akan menyebabkan cepat berkembangnya bakteri pathogen (Golez, 2009).

Selain itu, Ikan mati dengan kondisi DO rendah ketika tenggelam dalam lumpur akan menyebabkan terakumulasinya bahan organic. Campuran lumpur dan bangkai akan membentuk sedimen lumpur hitam yang anaerob. Lumpur hitam akan menjadi sumber gas-gas beracun utama di dasar tambak (Adiwijaya, et al, 2001).

Bahan organic kaya protein ini juga memicu berdatangannya invertebrate lain seperti siput air (trisipan) yang akan menjadi competitor ruang dan makanan bagi ikan. Siput air telah diketahui secara signifikan menurunkan produktifitas tambak (Midlen and Redding, 1998)

Tanpa pengeringan total sulit diketahui pH tanah dasar sehingga tidak dapat diambil keputusan seberapa banyak kapur bakar digunakan untuk rekondisi pH tambak. Kumar (Komunikasi pribadi, 2009) menyarankan dua kali pengapuran yakni pengapuran tanah dengan kapur bakar dan pengepuran air dengan dolomite.

Penebaran kapur hanya pada air tambak fungsinya terbatas untuk memperbaiki kemampuan penyangga air dari guncangan pH dan menjernihkan air dari lempung terlarut. Sedangkan kemampuan tanah dasar tambak untuk pertukaran ion tidak membaik. Peningkatan kemampuan pertukaran ion tanah akan membantu kelarutan nutrient tanah sehingga menyuburkan air sekaligus membantu pembusukan bahan organic (Noor, 2004).

Dosis pemberantasan hama dan pengapuran mendekati ideal namun dosis pemupukan kurang ideal. Pemberian urea sekitar 25-125 kg/ha tidak sesuai dengan ideal yakni 61 kg/ha. Pupuk TSP diberikan dua kali lipat dosis ideal yakni 63-77 kg/ha (Kumar, 2009).


BAB V. KESIMPULAN


1. Para petambak melakukan proses pemberantasan hama, pengapuran dan pemupukan dalam rentang waktu antar perlakuan sangat singkat. Sebagian petambak tidak melakukan persiapan sama sekali.

2. Praktek persiapan lahan kurang sempurna seperti tidak dilakukannya pengeringan total dan tidak dibuangnya sebagian bangkai ikan hasil pemberantasan hama. Dosis pemakaian bahan-bahan persiapan lahan kurang tepat.


UCAPAN TERIMA KASIH

Para penulis menghaturkan penghargaan kepada Caritas Czech Republic yang telah membantu merancang dan mendanai kegiatan ini, juga kepada seluruh petambak Kecamatan Jaya, Aceh Jaya yang bersedia diwawancara.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwidjaya, D., Kokarkin, C., Supito. 2001. Petunjuk Teknis Operasional Tambak Sistem Resirkulasi. Ditjen Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jepara. 24 p
Golez, N.V. 2008. Pond Preparation and Fertilization. Short Course Training in Workshop on Shrimp and Gracillaria Culture: New Trends for a Changing World. UBBADC, Aceh.
Kumar, R. 2009. Technical Recommendation for Tilapia Trial. Personal Communication. Worldfish Center, Aceh.
Midlen, A. and Redding, T.A. 1998. Environmental Management for Aquaculture. Chapman & Hall. 240 p.
Noor, M. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 242 p.