28/09/10

Bokashi Jerami: menumbuhkan diatom, mereduksi vibrio

@ Ibnu Sahidhir

Budidaya tradisional tanpa pakan buatan membutuhkan benih udang yang lebih tahan terhadap perubahan kondisi lingkungan. Satu alternatifnya yakni melakukan pentokolan udang windu sebelum penebaran telah terbukti dapat meningkatkan kelulushidupan. Pemberian pupuk bokashi jerami yang mengandung banyak silikat pada media pentokolan diharapkan mampu menumbuhkan diatomae. Pupuk bokashi jerami juga diharapkan menjaga kestabilan populasi plankton dan menurunkan populasi vibrio. Percobaan menggunakan 2 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan tersebut adalah A (bokashi jerami 1 kg/ton), B (NPK 10 gr/ton+silikat 100 ml).  Benur yang digunakan adalah PL12 berukuran rata-rata 1,15 cm sebanyak 10.000 ekor/ton dengan wadah fiberglass volume air 1 ton. Percobaan dilakukan selama 15 hari. Hari terakhir dilakukan pengukuran SR dan pertumbuhan rata-rata. Hasil penelitian menunjukkan SR antar perlakuan berbeda nyata, perlakuan pupuk bokashi jerami menunjukkan SR yang lebih besar (75,5%) dibanding NPK (67,3%). Pertumbuhan rata-rata tidak berbeda nyata (0,09 cm/hari). Populasi fitoplankton terbanyak diperoleh pada perlakuan B (16.000 sel/ml) akan tetapi stabilitas plankton lebih baik pada perlakuan A (7.300 sel/ml). Koloni vibrio pada media pemeliharaan berisi bokashi jerami (1,3.104 cfu/ml). pada akhir penelitian menunjukkan konsentrasi lebih rendah daripada yang ditebar NPK+silikat (2.104 cfu/ml).



KATA-KATA KUNCI: benih udang winduy,pupuk bokashi jerami, pentokolan

ABSTRACT: Efficiency of Tiger Shrimp Nursery with Fermented Straw Fertilizer

Traditional shrimp farming needs stronger fries to adapt with more fluctuate ambient. One of the alternatives that showed success is nursery activity. Giving fermented straw fertilizer that contains silicates will expect to grow diatomae (Skeletonema sp.), stabilize its population and decrease total vibrio. This research used complete random design with 2 treatments and 3 repetitions. The treatments are A (fermented straw fertilizer 1 kg/ton), B (NPK 10 gr/ton+silicate 100 ml).  The materials are PL12 shrimp fries, average body length 1,15 cm as much as 10.000 individuals/ton and 1 ton fiberglass. Research needs 15 days. SR and average growth rate measured in the last day. SR showed significant difference between treatments that was A (75,5%) had better than B (67,3%). But there was no difference average growth rate between A and B (approximately 0,1 cm/day). Higher skeletonema population achieved for B (16.000 cells/ml) although A had better population stability (7.300 sel/ml). Total vibrio colonies in water given fermented straw fertilizer (1,3.104 cfu/ml) was lower than in NPK (2.104 cfu/ml) added water.

KEYWORDS: tiger shrimp fry, fermented straw fertilizer, nursery

Efisiensi Pentokolan Udang Windu dengan Pupuk Bokashi Jerami[1]

Oleh : Mulyadi, Junaidi, Ibnu Sahidhir
Perekayasa Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee, NAD
 
1.    Pendahuluan

Walaupun telah muncul banyak permasalahan, namun sampai saat ini udang masih menjadi produk unggulan perikanan budidaya. Sebagai sebuah alternatif solusi, pentokolan benur cukup membuahkan hasil yakni dengan meningkatnya efisiensi pemanfaatan pakan sekitar 30% (dibandingkan tanpa pentokolan) dengan kelulushidupan mencapai 70% (RICA, 2002). Efek dari efisiensi pemanfaatan pakan selanjutnya adalah peningkatan kualitas perairan sehingga dapat memperbesar keberlanjutan usaha budidaya udang (Goddard, 1996).

Persiapan lahan dalam pentokolan umumnya menggunakan pupuk anorganik jenis urea (CO(NH2)2), TSP/SP36, ZA, dan NPK. Sedangkan penggunaan pupuk organik meliputi pupuk hijau dari pengomposan dedaunan dan pupuk kandang dari kotoran hewan (sapi, kambing, kerbau, kelelawar, ayam). Pupuk buatan pabrik lebih cepat larut dalam air sehingga daya serap fitoplankton atau tumbuhan air lain lebih besar. Oleh karena itu pemberiannya harus sering diulang.

Pupuk organik yang berasal dari serasah atau sisa makhluk hidup lebih bertahap dalam melarutkan nutrien yang dikandungnya. Sifat ini menyebabkan perkembangan tumbuhan air tidak berlebihan. Selain harga bahan-bahan murah atau bahkan tak berharga, keuntungan lainnya adalah berkembangnya mata rantai detritus. Akan tetapi kekhawatiran yang muncul adalah pupuk organik dapat membawa dan memicu berkembangnya bakteri patogen di perairan (Tacon, 1987).

Satu alternatif untuk mengurangi patogen dalam bahan pupuk organik adalah dengan bioremediasi sehingga pupuk telah terkondisikan oleh mikroorganisme bermanfaat. Peragian atau fermentasi merupakan satu cara yang telah diterapkan dalam pembuatan pupuk organik untuk pertanian. Hasil fermentasi bahan organik ini yang lazim disebut bokashi telah banyak dikenal dan cukup diakui hasilnya (Adiasmara, 2008).

EM4 sebagai mikroorganisme pembuat bokashi telah berhasil diterapkan sebagai bioremediator di tambak udang (Adiasmara, 2008). Penerapan EM4 dalam pembuatan pupuk perlu ditambahkan bahan khusus sehingga hasilnya cocok untuk penumbuhan diatom untuk konsumsi benur. Jerami yang mengandung banyak silikat dapat dipertimbangkan sebagai bahan pupuk organik yang diharapkan mampu menyuplai silikat di air.  

2. Review

Biologi Udang Windu (Penaeus monodon), Kelangsungan hidup dan Pertumbuhan Post Larva

Udang windu digolongkan ke dalam keluarga Penaeid pada filum Arthropoda. terdapat ribuan spesies dalam filum ini, namun yang mendominasi perairan berasal dari subphylum Crustacea. Berikut tata nama udang windu (Landau, 1992):
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Fillum               : Arthropoda
Subfillum        : Crustacea
Kelas               : Malacostraca
Ordo                : Decapoda
Famili              : Penaeidae
Genus              : Penaeus
Spesies            : Penaeus monodon

Udang penaeid dibedakan satu dengan lainnya oleh bentuk dan jumlah gigi pada rostrumnya. Udang windu mempunyai 2-4 gigi pada bagian tepi ventral rostrum dan 6-8 gigi pada tepi dorsal. Udang windu betina mempunyai thellycum tertutup yakni adanya lapisan atau seminal reseptakel (landau, 1992). Sebagian besar udang dewasa dari famili Penaeid mengalami siklus hidupnya di daerah lepas pantai, mengalami perkawinan sampai menetaskan telur, kemudian bermigrasi menuju perairan pantai saat mysis hingga menjadi juvenil (Whetstone et al, 2002).

Proses pertumbuhan PL udang windu dipengaruhi oleh asupan makanan yang cukup kuantitas dan kualitas. Kemudian puncak peningkatan biomassa adalah proses ganti kulit (moulting). Plankton terutama diatom memberikan nutrisi asam lemak esensial (ARA, EPA, DHA) yang membantu menuju perubahan stadia selanjutnya (Muller et al. 2003).

Tingkat kelangsungan hidup post larva (PL) udang windu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama yaitu kualitas air. Kualitas air yang baik pada media pemeliharaan akan mendukung proses metabolisme. Kualitas air yang buruk karena bahan organik tinggi, misalnya, selain berpotensi meningkatkan BOD dan gas beracun juga akan meningkatkan populasi vibrio sebagai flora normal perairan sehingga meningkatkan penempelan bakteri (FAO, 2003).

Pentokolan Benih Udang Windu

Benih udang windu dengan stadia >PL12 memerlukan tempat yang lebih luas untuk mengakomodasi pertumbuhannya. Kepadatan yang terlalu tinggi di dalam bak hatchery akan meningkatkan pemangsaan saat moulting sehingga menurunkan kelangsungan hidup. Pemanfaatan ruang juga terbatas karena benih dominan hidup secara bentik (Sturmer et al, 1992).

Ide pendederan/pentokolan/penggelondongan benur banyak mendapat apresiasi di kalangan praktisi perudangan. Sebagian petambak melakukan pentokolan di hapa dan sebagian lain membuat petakan kecil di bagian tambak. Pemupukan tanah sering dilakukan untuk persiapan pentokolan. Data menunjukkan bahwa ada peningkatan pemanfaatan pakan sekitar 30% dibandingkan dengan pentokolan tanpa pemupukan. Hasil kelangsungan hidup dapat dicapai sekitar 70% (RICA, 2002).

Benih udang tokolan lebih mampu bertahan hidup di tambak dibanding benur yang ditebar langsung dari panti pembenihan. Orientasi dan pemanfaatan pakan alami di tambak oleh tokolan juga terlihat lebih baik. Pakan yang termanfaatkan dengan baik selain meningkatkan pertumbuhan juga memperlambat penurunan kualitas perairan sehingga kelangsungan hidup benih menjadi lebih tinggi (Goddard, 1996).

Pemupukan

Kedua jenis pupuk yakni pupuk organik dan pupuk buatan pabrik digunakan dalam pentokolan benih. Pupuk buatan pabrik (urea, TSP, NPK) memberikan nutrien instan ke perairan sehingga mempercepat berkembangnya pakan alami khususnya fitoplankton. Fitoplankton menjadi makanan bagi zooplankton. Selain sebagai pakan fitoplankton juga memberikan keteduhan pada kultivan dengan membiaskan cahaya matahari.

Nutrien instan ini menyebabkan pertumbuhan plankton sangat fluktuatif yakni mencapai blooming dan kematian dalam waktu singkat. Kondisi ini tidak baik bagi kualitas perairan karena variabel-variabel penting di dalamnya yang mendukung kehidupan kultivan akan ikut berfluktuasi (Boyd and Fast, 1992). Kematian plankton tiba-tiba dapat menyebabkan meledaknya populasi bakteri vibrio karena suplai bahan organik berlebihan. Hal ini kemungkinan besar akan membahayakan kelangsungan hidup kultivan (Lavilla-Pitogo, 1996).

Selain pupuk buatan pabrik dikenal juga pupuk bokashi yakni diperoleh dengan meragikan bahan organik. Bokashi dikenal sebagai  pupuk organik yang efektif memperbaiki kondisi tanah yang rusak akibat pertanian konvensional. Hal ini disebabkan oleh keberadaan mikroorganisme menguntungkan yang disebut effective microorganisms (EM) dan unsur-unsur nutrien didalamnya (IPSA, 2008). Pupuk berfungsi pula sebagai probiotik dengan berkembangnya mikroorganisme menguntungkan dalam tanah sehingga lebih lanjut akan menyediakan lingkungan hidup yang baik bagi organisme diatasnya. Tanah zimogen adalah jenis tanah terbaik (berdasarkan penggolongan tanah secara mikrobiologis) yang mampu menghasilkan bahan-bahan organik menguntungkan seperti asam-asam amino dan vitamin (Higa and Parr, 1994).

EM ternyata mampu berfungsi sebagai probiotik dalam perairan yakni merombak bahan organik dan menekan mikroorganisme pathogen. EM terdiri dari 80 spesies yang masing-masingnya mampu hidup dalam lingkungan berbeda bahkan di air laut. Semua spesies tersebut masuk dalam 5 golongan yakni  bakteri asam laktat, bakteri fotosintetik, aktinomisetes, ragi, dan fungi pemfermentasi. Kelima golongan ini secara sinergistik memperbaiki lingkungan mikroorganisme yang mendukung kehidupan (Sahidhir and Bahri, 2008).

Hasil fermentasi jerami bersama pupuk kandang, dedak sebagai starter dan EM menghasilkan bokashi jerami mengandung silikat yang dapat larut dalam air (Adiasmara, 2008). Silikat ini merupakan nutrien pendukung utama pertumbuhan diatom. Diatom masih dibutuhkan dalam pentokolan krustase selain sebagai pakan dan sebagai penjaga kualitas air (Sturmer et al, 1992). Sedangkan berbagai macam mikroorganisme yang berkembang didalamnya berfungsi untuk menjaga kualitas lingkungan tempatnya ditebarkan.

Harga pupuk pabrik yang semakin mahal bagi petani memungkinkan bokashi jerami sebagai pengganti pupuk pabrik. Sebagian besar bahan-bahan yang dibutuhkan hampir tak bernilai ekonomis yakni jerami dan kotoran ternak, selain EM.


3. Tata Kerja

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 20 Agustus – 12 September 2008 di Crustacean Hatchery, BBAP Ujung Batee, NAD. Peralatan yang digunakan meliputi bak fiberglass, terpal plastic, penggaris, serok, pengukur plankton (sedwigrafter, mikroskop, dll), pengukur vibrio (TCBS, petridish dll), peralatan kualitas air (DOmeter, pHmeter,  refraktometer, termometer, amonia kit). Sedangkan bahan yang digunakan meliputi bahan pembuatan bokashi jerami (jerami, kotoran ayam, dedak, EM aktif, gula merah encer), NPK + silikat, benur PL12, Skeletonema sp, pakan (artemia dan pakan PL).

Penelitian ini menggunakan 2 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan tersebut adalah A (pemupukan dengan bokashi jerami) dan B (pemupukan dengan NPK dan silikat). Hasil yang diukur adalah kelulushidupan (SR), pertumbuhan rata-rata (%/hari), kepadatan skeletonema (sel/ml), konsentrasi total vibrio (cfu/ml). Analisa data untuk SR dan pertumbuhan rata-rata menggunakan uji t satu arah (signifikansi 5%) dengan MsExcel2003. Data lain diterangkan secara deskriptif berdasarkan kecenderungan kurvanya.

Bokashi jerami dibuat dengan mencampurkan seluruh bahan dengan perbandingan berat yakni kotoran ayam 60%, jerami 30%, dedak 10% kemudian disiram campuran EM aktif 0,5 L, gula merah cair 0,5 L dan air 20 L. Penyiraman dihentikan setelah kebasahan 40%. Hasil disimpan rapat dalam terpal selama 7 hari. Hari terakhir bokashi sudah dapat dipakai dengan dosis 1 kg bokashi/ton air. Kemudian NPK diberikan dengan dosis 10 gr NPK/ton air dan silikat 100 ml/ton air. Setelah skeletonema  dimasukkan sehingga kepadatan awal 1000 sel/ml, benur dimasukkan dengan kepadatan 10.000 ekor/ton air. Pakan yang diberikan berupa pakan komersil sebanyak 2 gr/ton/hari dan artemia 30-50 ind/ekor/hari.

Media untuk menumbuhkan bakteri adalah TCBS (thiosulphate citrate bile-salt sucrose) dari E-Merck disiapkan sesuai dengan label dan ditambah NaCl 2% untuk isolasi vibrio (Taslihan et al, 2004). Penghitungan skeletonema digunakan sedwighrafter menurut metode Isnansetyo dan Kurniastuty (1995).


4. Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (P<5%) pada kelulushidupan antar perlakuan tetapi tidak berbeda untuk pertumbuhan rata-rata (P>5%). Perlakuan bokashi jerami menghasilkan SR (75.5%) lebih tinggi 11% dibandingkan perlakuan NPK+silikat (67,3%). Walaupun rerata untuk pertumbuhan rata-rata NPK+silikat (9,56%) lebih tinggi 2% dibanding bokashi jerami (9,33%) namun secara statistik (P>5%) tidak berbeda nyata.

Benur yang mati tidak bisa terdeteksi kecuali setelah perhitungan jumlahnya pada hari terakhir. Warna benur cerah tidak terlihat tanda-tanda stress seperti munculnya warna merah. Ada sekitar 8% sampel yang terkena nekrosis tetapi gerakan cukup aktif. Usus benur rata-rata terisi sekitar 25%-75% menandakan bahwa benur mengkonsumsi pakan yang diberikan.

Kualitas air masih berada dalam kisaran yang layak untuk pemeliharaan benur walaupun ditemukan kelimpahan protozoa pada hari-hari terakhir (standar menurut Boyd and Fast, 1992). Suhu air pemeliharaan berkisar 24-300C, salinitas 29-32 ppt, pH 7,0-8,1, DO 4,0-5,0, TAN <1,0 mg/l. Tabel kelulushidupan dan pertumbuhan rata-rata ditunjukkan dalam tabel dibawah ini.

Tabel 1. Kelulushidupan dan pertumbuhan rata-rata benih udang windu (PL12-27) yang diberi pupuk NPK+silikat dan bokashi jerami


Catatan: a = berbeda nyata, b = tidak berbeda nyata

            Kepadatan skeletonema pada perlakuan pupuk bokashi jerami selama 15 hari berkisar antara 1.000 sel/ml – 8.500 sel/ml. Kepadatan relatif stabil pada angka 5.600 – 8.500 selama 10 hari terakhir. Bahkan menunjukkan peningkatan pada hari terakhir. Ini menunjukkan bahwa bokashi mampu menumbuhkan diatom walaupun tidak sebanyak pupuk sintetis.

Awal penelitian sampai akhir penelitian menunjukkan populasi protozoa tidak berlebihan dibanding perlakuan NPK+silikat. Pada perlakuan NPK+silikat menunjukkan kepadatan skeletonema yang fluktuatif yakni 600 sel/ml pada hari terakhir saat kematian sampai puncaknya 16.000 sel/ml pada puncaknya yakni hari ke-5. Tingginya kelarutan nutrien pada pupuk sintetis mengakibatkan cepatnya fitoplankton mencapai kepadatan puncak. Sedangkan pupuk organik yang melepas nutrien sedikit demi sedikit mampu secara bertahap meningkatkan dan menjaga  populasi plankton (Boyd and Fast, 1992). Populasi skeletonema pada kedua perlakuan terlihat jelas perbedaannya pada grafik 1 dibawah ini.


Grafik 1. Kepadatan skeletonema selama 15 hari pada air pemeliharaan benih udang windu (PL12-27) dengan perlakuan NPK+silikat, dan bokashi jerami


Vibrio berkembang dengan baik pada keadaan bahan organik tinggi di perairan (Lavilla-Pitogo, 1996). Perhitungan total vibrio menunjukkan bahwa pada awal pemeliharaan perlakuan bokashi jerami mempunyai total vibrio yang lebih tinggi dibanding perlakuan NPK+silikat. Namun setelah 5 hari terakhir total vibrio pada perlakuan NPK+silikat mengungguli total vibrio perlakuan bokashi jerami. Bahan organik dalam bokashi jerami dapat dimanfaatkan oleh vibrio untuk berkembang biak. Sedangkan pada awal pemeliharaan perlakuan NPK+silikat memiliki lebih sedikit bahan organik.

Peningkatan secara drastis populasi vibrio disebabkan oleh mulai melimpahnya bahan organik karena kematian plankton. Lebih rendahnya populasi vibrio pada perlakuan bokashi jerami di hari-hari terakhir mungkin disebabkan kemampuan mikroorganisme-mikroorganisme menguntungkan dalam bokashi yangmenekan populasi vibrio. Perlakuan NPK+silikat menunjukkan populasi vibrio 2,5.103, 4.103, 1.104, dan 2.104 pada hari ke-0, 5, 10 dan 15 secara berurutan. Sedangkan perlakuan bokashi jerami menunjukkan populasi vibrio 2,8.103, 7.103, 1,1.104, dan 1,3.104 pada hari ke-0, 5, 10 dan 15 secara berurutan. Peningkatan konsentrasi total vibrio selama pemeliharaan dapat dilihat pada grafik 2.


Grafik 2. Konsentrasi total vibrio selama 15 hari pada air pemeliharaan benih udang windu (PL12-27) dengan perlakuan NPK+silikat, dan bokashi jerami

Perbedaan kemampuan pupuk untuk menumbuhkan pankton tidak menyebabkan perbedaan pertumbuhan benur secara nyata namun fluktuasi plankton yang disebabkannya diduga berhubungan erat dengan total vibrio dalam pengaruhnya untuk menyuplai bahan organik. Nilai konsentrasi lethal median (LC50) untuk Vibrio harveyi yang dapat mengakibatkan kematian adalah sebesar 104 cfu/ml (Taslihan, 2004). Populasi total vibrio pada kedua perlakuan yang berada diatas 104 cfu/ml diduga berpengaruh pada kelulushidupan.


5. Kesimpulan

l  Perlakuan pupuk bokashi jerami menunjukkan SR yang lebih besar (75,5%) dibanding NPK (67,3%).
l  Pertumbuhan rata-rata tidak berbeda nyata (9,4 %/hari).
l  Populasi plankton terbanyak diperoleh pada perlakuan NPK+silikat (16.000 sel/ml) akan tetapi stabilitas plankton lebih baik pada perlakuan bokashi jerami (7.300 sel/ml).
l  Koloni vibrio pada media pemeliharaan dengan bokashi jerami pada akhir penelitian menunjukkan konsentrasi lebih tinggi (2.104 cfu/ml) daripada perlakuan dengan NPK+silikat (1,3.104 cfu/ml).


Ucapan Terima Kasih
           
            Para penulis memberikan apresiasi yang besar kepada Divisi Pembenihan Udang dan Divisi Manajemen Kesehatan Ikan dan Lingkungan BBAP Ujung Batee atas dukungan alat bahan dan tenaga dalam pelaksanaan perekayasaan ini.


Daftar Pustaka

Adiasmara, N.A. 2008. Buku Panduan Praktek Teknologi EM. IPSA, Bali, Indonesia. 29p
Boyd, C.E., Fast, A.W. 1992. Pond Monitoring and Management, in Marine Shrimp Cultures: Principles and Practices eds: Fast, A.W., Lester, L.J. Developments in Aquaculture and Fisheries, 23. Elsevier Science Publisher, USA. Pp. 497-514.
FAO, 2003, Health Management and Biosecurity Maintanance in white shrimp (Penaeus vannamei) hatcheries in Latin America, FAO Fisheries Technical Paper. No. 450. Rome, FAO, 62 pp.
Goddard, 1996, Feed Management in Intensive aquaculture. Chapmann & Hall, New York. 256 p.
Higa, T. and Parr, J.F. 1994. Beneficial and Effective Microorganisms for a Sustainable Agriculture and Environment. INFRC, Atami, Japan. 13 p.
IPSA. 2008. Diktat Pelatihan IPSA.  Institut Pengembangan Sumberdaya Alam, Buleleng, Bali. 93 p.
Isnansetyo, A dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton; Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius, Yogyakarta. 116 p.
Landau, M. 1992. Introduction to Aquaculture. John Wiley and Sons. New York. 440 p.
Lavilla-Pitogo, C.R. 1996. Shrimp health research in the Asia-Pacific: Present Status and Future Directives. In Health Management in Asian Aquaculture. Proceedings of the Regional Expert Consultation on Aquaculture Health Management in Asia and the Pacific. R.P. Subasinghe, J.R.Arthur & M. Shariff (eds.), pp 41–50. FAO Fisheries Technical Paper No. 360. Rome, FAO. 142 p.
Muller. A, Robert. R, Cahu. C, Robin. J, Divanach. P. 2003. Uses of Microalgae in Aquaculture in Live Feeds in Marine Aquaculture. Edited by Josianne and Lesley. Black well Science Ltd. Pp 119 – 268.
RICA. 2002. Pemantapan Produksi Tokolan Udang Windu dalam KJA di Laut dan  Pembesarannya di Tambak.    
Sahidhir, I. and Bahri. 2008. Effective Microorganisms Technology: Training Report. ACIAR, NAD, Indonesia. 5 p.
Sturmer, L.N., Samocha, T.M., Lawrence, A.L. 1992. Intensification of Penaid Nursery Systems, in Marine Shrimp Cultures: Principles and Practices, eds: Fast, A.W., Lester, L.J. Developments in Aquaculture and Fisheries, 23. Elsevier Science Publisher, USA. Pp 321-344.
Taslihan, A., Wijayati, A., Handayani, R., Astuti S.M. 2004. Petunjuk Teknis Pengelolaan Kesehatan Ikan dan Udang pada Budidaya Air Payau. BBPBAP, Jepara, Indonesia. 32 p.
Whetstone, Jack M. Treece, Gravil D. Browdy, Craig L and Stokes, Alvin D. 2002. Opportunities and Constraints in Marine Shrimp Farming. SRAC Publication No. 2600