10/10/10

Global Conference on Aquaculture 2010


FARMING THE WATERS  FOR  PEOPLE  AND FOOD
Phuket Thailand, 22 – 25  September   2010
Oleh : Coco Kokarkin Soetrisno Ph.D.

Pertemuan sepuluh tahunan ini dihadiri oleh para ahli akuakultur seluruh dunia dan beberapa nara sumber pangan dunia untuk menentukan langkah antisipasi, arah penelitian dan kebijakan pemerintah sesuai dengan kondisi terakhir
Delegasi Indonesia dari KKP sebanyak 7 orang, universitas Hasanuddin  dan Halueleo masing masing 1 orang. Delegasi Indonesia menjadi Chair person (Prof. Fatuchri) dan panelist (Coco Kokarkin)


ISSUE  UTAMA

      Akuakultur dan keamanan nutrisi di planet yang semakin panas
Pembunuh utama penduduk dunia adalah malnutrisi, mengalahkan penyakit lainnya.  Daging ikan yang kaya protein, micronutrients. mineral dan minyak esensil sangat berperanan dalam penyehatan masyarakat. Sehingga ikan hasil budidaya adalah jawaban kebutuhan masyarakat dimasa yang akan datang. 
Permukaan air laut diramalkan naik hingga 40 cm di tahun 2030   sehingga Bangladesh akan  kehilangan  40% wilayahnya  dengan penduduk yang sudah mencapai 130 juta pada tahun 2010.   Demikian juga Delta Mekong penghasil ikan patin yang dihuni oleh 21 juta penduduk  akan menderita  oleh hilangnya lahan pertanian dan budidaya air tawar karena digunakan sebagai pemukiman.
Dengan masuknya air laut ke daratan maka  budidaya harus diarahkan pada komoditas yang toleran air laut, cepat tumbuh dan fekunditas yang tinggi. Mangrove dan rumput laut  harus dijaga sebagai plasma nutfah karena adanya sifat toleran air asin yang diperlukan dalam menciptakan tumbuhan pangan yang adaptif pada air asin (Swaminathan). Kebutuhan pangan seluruh manusia dapat dipenuhi hanya dengan memanfaatkan 2 % wilayah laut dunia (Foster, 2009) 

Produksi Global
Produksi  akuakultur pada tahun 2007 telah mencapai  59.7 juta  ton di daerah Asia Pasifik dan terhitung sebagai 91.4 persen untuk seluruh dunia dibandingkan dengan 32.4 MT ditahun 2000. Namun dalam 30 tahun mendatang kebutuhan ikan dari akuakultur akan meningkat 30 juta ton (Rohana, FAO).   Angka-angka signifikan  diperoleh dari China dengan ikan air tawar, Vietnam dengan patin, Asia Tenggara dengan udang vanamei  dan ikan Nila. Kekhawatiran  muncul terhadap program perbaikan genetik dan introduksinya yang mengancam keragaman genetic setempat.  

Trend  Sertifikasi
Bila dewasa ini sertifikasi ditekankan pada keamanan makanan, dimasa mendatang akan dilihat dari berapa banyak sebuah produk menghasilkan CO2  (carbon foot print).  Semakin rendah  akan semakin diterima.  Sebuah sepeda motor  akan menghasilkan CO2 yang hanya bisa diserap oleh 14 buah pohon besar.  Saat ini  70% dari produk perikanan memiliki footprint  hampir serupa dengan unggas yaitu menghasilkan 2 kg CO2 untuk menghasilkan 1 kg protein.  namun 100% produksi rumput laut dan molusca sangat rendah bahkan menyerap CO2 (Sena de Silva) .  
Ratio  FIFO  (fish in fish out)  juga sudah harus berubah. Sepuluh tahun yang lalu FIFO adalah 5 kg sekarang dengan kemajuan teknologi pakan  tinggal 0.52 artinya dari 1 ton ikan tangkap menghasilkan 1.92 ton ikan budidaya.  walaupun Sidat, Salmon, Grouper dan udang masih memiliki FIFO>1.   Pada tahun 2007, 60.87% produksi tepung ikan dunia dipakai oleh akuakultur   demikian juga tepung kedelai diserap sebanyak 25.1 %(Tacon, AJ)
Inovasi sumber protein murah seperti larva kumbang dari limbah kelapa sawit di Indonesia perlu dicontoh  (Costa- Pierce) dan penggunaan jaring lapis dua di waduk di Indonesia dapat secara efisien  memanfaatkan nutrient (Sena da Silva).   Penggunaan sumber pakan lokal sangat dianjurkan (Tacon AJ).
Budidaya  multi trophic  akan menjadi trend untuk memaksimalkan ruang dan nutrient seperti misalnya konsep Three in one di Indonesia  (Browdy CL)

POSTER  SESSION
Keterlambatan  pemberian pakan pertama pada benih ikan kerapu macan  akan berkibat  kematian dan cacat yang tidak terpulihkan (Ching FF, Nakagawa).
Seluruh tambak udang tradisional Indonesia di Kalimantan dan Jawa yang mengandung cacing nereis (Polychaeta)  63 % mengandung  WSSV   dengan tingkat infeksi berkisar antara 16 – 100 %. (Desrina, Vlak, SB Prayitno, Wageningen Univ.).   Semakin tradisional semakin tinggi tingkat infeksi (55-100%).  WSSV  ditemukan di bagian dada-kepala  cacing serta di cairan tubuh mekanisme  replikasi virus di dalam tubuh sedang diteliti. Hal ini diduga sebagai penyebab sulitnya mengatasi endemic WSSV.

      FIELD TRIP
Abalone di Thailand biaya produksinya kalah dengan Cina dan Africa.   Untuk mengatasinya dilakukan extraksi  bahan collagen yang sangat stabil untuk menghilangkan keriput  pada kulit orang dewasa dan baru dipatenkan di Amerika.
Petambak udang Thailand berambisi  menekan FCR <1.2   dengan stocking density  antara 60 – 80 ekor/m2.   Dengan  mengolah limbah pada saluran dan petak pengendapan, petambak Thailand (kini memiliki sertifikat BMP lebih dari 24 ribu petambak)  berusaha mendapatkan CoC  (Code of Conduct) yang lebih bergengsi karena dapat meningkatkan harga jual 1- 1.5 $ per kg.
Kantor perikanan dan lab pemerintah mengeluarkan surat jalan  (certificate of fry movement) untuk benih ikan/ udang yang diperjual belikan biarpun malam hari sehingga benih akan terlacak. Lab sertifikasi menguji dan mengeluarkan surat keterangan bebas penyakit dan bebas residu berbahaya termasuk hari minggu.
Pembudidaya karamba kerapu Thailand mendapatkan gelondongan dari Indonesia.  Hatchery budidaya pantai Thailand memproduksi  ikan Cobia secara massal.