23/09/10

Produksi Benih Lambouh Massal


 @Ibnu Sahidhir
Udang lamboh (Penaeus spp.)  merupakan udang lokal Aceh yang banyak ditemukan di perairan pantai barat Aceh dan muncul musiman (Juli-Desember). Benih alamnya dikenal oleh masyarakat memiliki daya tahan dan pertumbuhan yang baik di tambak tradisional.  Oleh karena itu udang lambouh perlu dicobakan sebagai alternative komoditas budidaya udang. Tujuan perekayasaan ini adalah untuk mengetahui produktifitas induk udang lambouh dan kelangsungan hidup larvanya pada berbagai padat tebar. Sebanyak 50 induk betina dan 29 induk jantan dikawinkan dengan dan tanpa melalui ablasi mata. Induk moulting, matang dan lepas telur, jumlah telur dan nauplii yang dihasilkannya dihitung.  Larva dipelihara dalam bak (10 ton) berjumlah 16 buah, masing-masing 8 bak untuk larva hasil induk memijah secara ablasi dan alami dengan padat tebar awal berkisar antara 17-120 ekor nauplii/L (vol. air 7 ton). Pakan yang diberikan berupa Skeletonema, Chaetoceros, Thallasiosira, pakan buatan dan nauplii artemia. Telur yang dihasilkan dari induk ablasi dan induk matang telur dari alam hampir sama jumlahnya yaitu berkisar antara 85.700 – 328.500 ekor dengan HR sekitar 70%-74%. SR benih dicapai antara 5.2%-48%. Dapat disimpulkan bahwa banyak factor lain yang (belum bisa dilokalisir) mempengaruhi SR selain padat tebar awal (r2 <0,4). Padat tebar < 80 ekor/l menghasilkan SR pada kisaran 20%-50%. Hasil uji PCR di laboratorium menunjukkan bahwa sampel induk dan benih udang lambouh PL12 belum terbukti terjangkiti  WSSV.



Kata kunci: Udang lamboh (Penaeus spp.), pembenihan, produktifitas induk, pemeliharaan larva
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee

 Ibnu Sahidhir2, Widya Puspitasari2, Evayanti3, Bukhari Is3


1 Disampaikan pada seminar Indonesian Aquaculture 2010, Bandar Lampung 4-7 September 2010
2Perekayasa pada Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee, Aceh
  Corresponding author:  [email protected], www.artaquaculture.blogspot.com
3Teknisi pada Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee, Aceh


1.    Pendahuluan

Selama ini komoditas udang yang menjadi andalan adalah windu dan vannamei. Pertumbuhan yang tinggi dan pangsa pasar yang luas merupakan keunggulan dari udang tersebut. Namun, sekarang ini banyaknya kendala terutama dalam masalah penyakit menyebabkan pembudidaya khawatir untuk mencoba budidaya udang. Udang lamboh yang merupakan udang spesifik Aceh yang dikenal masyarakat local berdaya tahan tinggi dan tumbuh baik, dapat dijadikan sebagai alternatif komoditas budidaya selain windu dan vannamei. Udang Lamboh belum dapat diidentifikasi secara jelas, tetapi dari ciri-ciri umum seperti jumlah gigi rostrum 7/0-3, tingkah laku dan morfologi lain nampak bahwa udang lambouh mendekati  genus penaeus.
Perhitungan kuantitatif terhadap produktifitas induk dan larvanya di pembenihan, sekarang ini belum dilakukan. Dengan menerapkan kembali prosedur budidaya udang penaeid lain diharapkan dapat diketahui secara jelas atau minimal dapat sebagai acuan yang menunjukkan tingkat teknologi yang dapat diterapkan. Demikian juga, pematangan induk dilakukan secara alami dan ablasi untuk menunjukkan hasil nyata kedua cara pematangan induk tersebut terhadap kinerja pembenihan udang lambouh. Sebagaimana diketahui bahwa prinsip ablasi adalah merangsang perkembangan telur dengan menghambat sekresi gonad inhibiting hormone (GIH), yang secara teknis dilakukan dengan memotong tangkai mata sebagai pusat organ - x pembuat GIH (Adiyodi, 1970).  Sedangkan pematangan induk udang secara alami dilakukan dengan manipulasi pakan dan lingkungan. Pakan maturasi untuk induk udang disesuaikan dengan kebutuhan percepatan proses vitellogenesis. Pakan segar seperti cacing, cumi, dan tiram sangat cocok untuk pematangan induk karena mengandung asam amino, asam lemak esensial, sterol, vitamin (C dan E) dan mineral yang sesuai untuk proses pematangan gonad. Manipulasi lingkungan akan merangsang respon kawin dengan menumpuknya energy dalam tubuh karena stabilnya metabolisme. Faktor lingkungan yang signifikan dalam merangsang pematangan dan kawin adalah cahaya, suhu dan suara.
Kegiatan ini secara eksplisit bertujuan untuk (1) mengetahui kemampuan produktifitas induk udang lambouh dalam menghasilkan telur dan nauplii (2) dan mengetahui padat tebar yang tepat pada pemeliharaan larvanya.

2.    Metodologi
Kegiatan ini dilaksanakan mulai bulan November-Desember 2009 di Hatchery Udang Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee. Fasilitas hatchery yang digunakan meliputi bak-bak pemeliharaan induk, pemijahan, peneluran/penetasan, pemeliharaan larva, tandon air steril, fiber plankton dan conical artemia. Kemudian secara operasional digunakan peralatan ablasi (gunting bedah, benang nilon), filter bag, perlengkapan aerasi (kran, selang, pemberat dan batu aerasi), terpal tutup bak. Sedangkan bahan-bahannya meliputi, induk udang betina (50 ekor), induk udang jantan (29 ekor), pakan induk (cumi-cumi, cacing tanah, tiram), pakan buatan untuk zoea, mysis, post larva (PL), artemia, diatome (Skeletonema sp., Chaetoceros sp., Thalassiosira sp.) dan beberapa bahan kimia dan obat-obatan (iodine, treflan, kaporit, chlorin test, EDTA, Na-thiosulfate.
Semua bak dibersihkan, disiram dengan menggunakan kaporit pekat (bahan aktif 65%) 1000 ppm dan dibiarkan selama 1 hari.  Semua peralatan aerasi dan penutup bak (terpal) juga di cuci dengan kaporit. Bak dicuci bersih dan dibilas dengan air steril kemudian dikeringkan.
Induk diseleksi berdasarkan kelengkapan organ tubuh, umur/berat minimal untuk dijadikan induk. Kemudian ablasi dilakukan pada individu betina yang memenuhi syarat dan tidak sedang moulting. Kemudian induk dipelihara, dicek setiap pagi untuk moulting/mati, penyiponan, pemberian pakan dan pemeriksaan tingkat kematangan gonade (TKG).
    Pemberian pakan dilakukan sebanyak 5 kali/hari dengan persentase 10 – 20% berupa cumi-cumi, tiram dan cacing tanah (9%). Pengecekan tingkat kematangan gonad dilakukan pada sore hari dengan menggunakan senter kedap air. Induk yang telah mencapai TKG 3, kemudian dipindah ke bak peneluran/penetasan. Bak penetasan telur dikondisikan gelap, tenang dan hangat pada suhu sekitar 32°C dengan bantuan heater (pemanas). Induk yang telah lepas telur segera diambil minimal 3 jam setelah penetasan untuk menghindari pemangsaan telur dan rusak akibat aktivitas induk. Telur diaduk menggunakan alat pengaduk khusus setiap 30 menit sekali supaya telur tidak mengendap.
Naupli hasil penetasan ditebar di bak pemeliharaan larva dengan kepadatan 15 – 120 ekor/liter. Salinitas air pemeliharaan berkisar antara 30-33 ppt. Pakan diberikan 8 kali sehari mulai stadia zoea berupa pakan buatan (0,6 ppm, 10-80 um) dan alga, serupa juga untuk mysis (0,7 ppm, 50-150 um), sedangkan untuk PL (pakan buatan 0,8 ppm, 200-500 um) ditambahkan artemia. Air mulai ditambahkan sebanyak 10% pada stadia mysis akhir. Mulai stadia PL dilakukan penggantian air sebannyak 10 – 20%. Penyiponan dilakukan saat dasar perairan kotor. Panen dilakukan pada pagi atau sore hari setelah benih masuk PL 12, karena pada umur ini larva sudah siap di tebar ke tambak.

3.  Hasil dan Pembahasan
Pembenihan udang lamboh dilakukan sebanyak 2 kali siklus, yaitu bulan September dan November 2009. Induk didatangkan dari daerah sekitar Aceh Barat (Meulaboh) dan Aceh Jaya (Babah Nipah, Tenom dan Lamno). Induk dari alam yang sedang matang telur, langsung dimasukan ke bak penetasan. Sedangkan yang lainnya dimasukan ke bak pemeliharaan untuk diseleksi pada saat akan diablasi.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 3 hari pertama pada minggu ke-1, 7% populasi lepas telur secara alami. Setelah ablasi  secara kumulatif (cum: ablasi dan non-ablasi) ada sekitar 65% induk betina moulting dan 20% matang telur. Pada akhir minggu ke-2  Seluruh induk betina telah moulting dan hampir seluruh betina matang telur (cum). Sedangkan induk betina telah lepas telur seluruhnya pada akhir minggu ke-4 (cum).
         Grafik tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak betina matang telur dibanding betina moulting setelah minggu ke-2. Sedangkan induk lepas telur terlihat mengejar banyaknya induk matang telur yakni 30% (pada minggu ke-1) menjadi 50% (pada minggu ke-4) induk matang melepaskan telur. Grafik juga menunjukkan bahwa reproduksi dimulai dengan moulting, kemudian matang telur, dan akhirnya lepas telur.

Grafik 1. Persentase induk udang lambouh betina moulting, matang telur dan lepas telur (kumulatif)

Grafik 2. Menunjukkan data yang lebih jelas, yakni moulting menurun sedangkan induk matang dan lepas telur semakin banyak. Pada minggu ke 2-4 dengan persentase induk moulting harian yang lebih rendah disbanding induk matang menunjukkan bahwa kematangan induk berasal dari moulting sebelumnya. Pada minggu ke-4 menunjukkan penurunan banyaknya induk lepas telur. 

Grafik 2. Persentase induk udang lambouh betina moulting, matang telur dan lepas telur

Kedua grafik jelas memperlihatkan bahwa pemijahan udang lambouh harus diawali moulting induk terlebih dahulu sebagai langkah awal untuk pemasukan spermatophore. Moulting akan diikuti oleh pematangan induk lalu pemijahan terjadi. Pola ini mirip dengan reproduksi udang windu. Kemudian pertanyaannya adalah mengapa induk lebih dari 50% induk matang tidak melepaskan telur, kemana telur matang tersebut ?  Sedangkan penurunan induk lepas telur walaupun induk matang semakin banyak, memperlihatkan induk betina mulai mengalami penurunan kualitas.
Data selanjutnya menunjukkan bahwa induk ablasi lebih banyak  lepas telur dibanding non-ablasi. Walaupun demikian jumlah telur yang dihasilkannya lebih sedikit (11%) dibanding non-ablasi.  Namun demikian dengan daya tetas (HR) telur ablasi yang lebih baik (5%) nauplii yang didapat menjadi lebih banyak (10%).  Tabel berikut menunjukkan rerata induk lepas telur dan jumlah telur, naupli dan HR telur yang diperoleh dari hasil ablasi dan non-ablasi/alam.

Tabel ini memperlihatkan induk ablasi lebih terangsang memijah dibanding non-ablasi. Walaupun demikian rata-rata telur induk alam  lebih banyak, karena mungkin kondisi telur lebih matang secara keseluruhan. Daya tetas yang lebih baik pada induk ablasi dapat menunjukkan  efisiennya akumulasi nutrisi dalam telur betina induk ablasi.

Data berikutnya berhubungan dengan relasi antara padat tebar larva dan kelulushidupannya. Laju sintasan dari induk berkisar antara 5.2% – 48 %. Dapat disimpulkan bahwa banyak factor lain yang (belum bisa dilokalisir) mempengaruhi SR selain padat tebar awal (r2 <0,4). Padat tebar < 80 ekor/l menghasilkan SR pada kisaran 20%-50%.

 Grafik 3. Hubungan antara padat tebar awal pemeliharaan larva dan kelulushidupannya

4.       Kesimpulan 

Produktifitas induk udang lambouh hasil ablasi dan alami hampir sama (ablasi-nonablasi, telur: 68.000-295.000 dan 88.000-275.000 butir telur , HR: 74% dan 70%). Kemudian terbukti banyak factor lain yang (belum bisa dilokalisir) mempengaruhi SR selain padat tebar awal (r2 <0,4)

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Afriliana dan Mardoni atas kerjasamannya selama produksi serta seluruh rekan staf Divisi Pembenihan Udang, Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee.

Daftar Pustaka
Adiyodi, K.G. and R.G. Adiyodi, 1970. Endocrine control of reproduction in decapod crustacea. Biol. Rev. 45: 121-165.
Brusca, R. C. and Brusca, G. J. (1990). Invertebrates. Sinauer Associates, Inc., Massachusetts, 922 pp.
Heng, H.H and Cheong, L. 1987. Manual on Breeding of Banana Prawn. Primary Production Department, Ministry of National Development, Republic of Singapore. p. 12.
Kokarkin, C., Nurdjana, M.L dan Bambang, S.R. 1986. Benihan Produksi Induk Masak Telur Dalam Pembenihan Udang Windu. INFISH Manual Seri 27, 1986. Balai Budidaya Air payau Jepara. Hal 9 – 11.
Leung-Trujillo, J.R., 1990. Male reproduction in penaeid shrimp: sperm quality and spermatophore production in wild and captive populations. M.S. thesis, Dept. of Wildlife and Fisheries Sciences, Texas A&M Univ., College Station, TX. p. 91
Stewart and Robert, 2005. Invertebrates: The Other Food Source. Diperoleh dari : http://oceanworld.tamu.edu/resources/oceanography-book/invertebrates.htm (Tanggal akses : 24 Juli 2009)
Wyban, James a., Sweeney, James n., 1991. Intensive Shrimp Production Technology. The Oceanic Institute. Hawaii.
Yano, I., R.A. Kanna, R.N. Oyama, and J.A. Wyban. 1988. Mating Behavior in the Penaeid Shrimp Penaeus vannamei. Marine Biology. 97:171-175