02/01/16

Sistem BUMI (Buffer Mikrobial) untuk akuakultur

 


Dengan sistem resirkulasi yang canggih dan pakan berprotein tinggi, budidaya ikan lele Afrika di Belanda dapat mencapai produktifitas sangat tinggi. Dengan lama budidaya kurang dari 3 bulan lele dapat dipanen dengan biomassa 300 kg/m3, diatas kepadatan tersebut ikan lele akan luka karena benturan fisik (van de Nieuwegiessen et al. 2008). Biaya investasi yang besar dan biaya operasional yang tinggi membuatnya tidak layak secara ekonomis untuk diterapkan di Indonesia karena harga lele yang relatif rendah. Pembudidaya lele di Indonesia dengan kepemilikan lahan yang lebih luas, secara umum menerapkan kepadatan tebar di bawah 150 ekor/m2 dengan tanpa ganti air dan pakan dikombinasikan dari berbagai sumber yang murah (pakan komersil, limbah peternakan, dan kotoran hewan) untuk memperoleh keuntungan.


Sekarang ini, muncul ketertarikan yang sangat besar di kalangan pembudidaya lele untuk meningkatkan produktifitasnya dengan menerapkan teknologi dalam komoditas lain yang tekniknya lebih dulu maju. Keberadaan internet dan media sosial memicu tersebarnya ide dan praktik-praktik baru. Pemakaian aerasi, pompa air, filter, probiotik dan kapur adalah beberapa contoh asimilasi teknologi tersebut. Tak dapat dipungkiri bahwa penerapan tersebut telah meningkatkan produktifitas budidaya lele. Namun demikian kenaikan produktifitas, karena meningkatnya biaya, tidak selalu linear dengan meningkatnya keuntungan.


Keuntungan budidaya lele dapat ditingkatkan dengan menaikkan padat tebar. Kemampuan lele untuk bernapas dari udara langsung memungkinkan untuk hal ini, walaupun sifat penapas udara ini bukan mutlak namun fakultatif, artinya dalam kondisi oksigen tercukupi ikan lele akan sedikit menggunakan sifat ini (Belão et al. 2011). Dengan demikian permasalahan ketersediaan oksigen dalam budidaya lele dapat lebih berkurang dan problem solving dapat difokuskan pada meminimalkan daya racun amonia dan bakteri pathogen. Dalam tulisan ini, diulas beberapa macam cara sederhana untuk mencegah penyakit dalam budidaya lele dengan mempertimbangkan peran mikroba. Cara-cara tersebut telah terbukti ekonomis dan efektif dalam meningkatkan keberhasilan budidaya ikan lele dan telah menjadi prosedur standar bagi sebagian pembudidaya lele.


Sistem buffer mikrobial

Mikroba adalah unsur ekosistem kolam yang paling dinamis. Walaupun perannya yang begitu penting, mikroba adalah variabel di kolam yang paling sulit dipahami. Oleh karena itu dapat dimaklumi bahwa ada kecenderungan, dengan alasan keamanan biologis, untuk mereduksi peran bermacam-macam mikroba tersebut dengan mensucihamakan air kolam kemudian memasukkan jenis-jenis mikroba tertentu agar efek mikroba dapat diprediksi dengan jelas. Dalam skala besar hal ini bersifat destruktif, karena zat-zat sisa disinfeksi menimbulkan efek negatif secara biologis (Dunnick and Melnick 1993; Komulainen et al. 1997; McDonald and Komulainen 2005). Memasukkan mikroba menguntungkan setelah dilakukannya disinfeksi adalah suatu keharusan, jika tidak maka perkembangan mikroba setelahnya tidak akan dapat diprediksi karena secara alamiah tanpa inokulasi mikroba, perombakan bahan organik seringkali berefek negatif. Namun demikian, dalam sistem semi terbuka seperti kolam, dominasi mikroba inokulan komersil menambah beban biaya karena efeknya tidak akan bertahan lama sehingga perlu diberikan secara teratur.


Menjadi pertanyaan, apakah ada paradigma lain selain pensucihamaan yang dapat menjamin kesehatan air bagi ikan ? Jawabannya adalah ada. Untuk menjabarkannya perlu dikaji kembali peran mikroba dengan pendekatan ekologis. Dinamika mikroba dipengaruhi oleh empat hal yakni (i) dukungan lingkungan dan makanan, (ii) kompetisi antar mikroba, (iii) pemangsaan dan (iv) kematian karena infeksi virus (Atlas and Bartha 1998). Dukungan lingkungan dan makanan dan kompetisi antar mikroba adalah faktor yang paling berpengaruh dalam menentukan kesehatan air kolam. Hubungan komponen dalam lingkungan kolam yang terbatas ini disebut sebagai sistem buffer mikrobial dengan menekankan pada peran mikroba dan pembudidaya sebagai pengatur sistem (Skema 1.). Efek lingkungan, pakan (yang berefek pada mikroba) dan kompetisi antar mikroba menjadi fokus penting dalam sistem ini.


Tujuan akhir dari sistem buffer mikrobial adalah mewujudkan air yang sehat dengan meningkatkan keanekaragaman mikroba, dominasi mikroba menguntungkan dan suksesi antar mikroba yang berlangsung aman. Persiapan air sehat adalah unsur utama dalam keberhasilan berbudidaya. Air sehat dalam pengertian ini bukanlah air steril, karena penggunaan air steril saja pada awal budidaya terbukti tidak dapat mereduksi bakteri pathogen (Lavilla-Pitogo, Albright, and Paner 1998). Air sehat mengandung mikroba yang mendukung kesehatan ikan. Pengertian ini kadang disebut dengan istilah ‘air yang matang secara mikrobiologis’ (Skjermo et al. 1997). Air sehat dapat dibuat dengan cara sangat sederhana seperti mengendapkan air selama beberapa hari di tandon atau mengalirkannya melalui filter biologis. Pengendapan dan biofilter terbukti secara efektif menurunkan perkembangan bakteri pathogen pada larva udang dan kerang dengan merangsang dominasi bakteri non-oportunistik yakni bakteri dengan perkembangbiakan lambat (Lavilla-Pitogo, Albright, and Paner 1998; Whittington et al. 2015; Jorunn Skjermo and Vadstein 1999).

Beberapa teknik untuk mewujudkan sistem buffer mikrobial adalah sebagai berikut
 
Teknik Miksotrof

Mikroba yang beranekaragam akan meminimalkan dominasi mikroba pathogen dan menetralkan efek racunnya (De Schryver et al. 2012). Keanekaragaman mikroba dapat diperoleh dengan menyediakan nutrisi beraneka ragam. Nutrisi yang beranekaragam memberikan kesempatan pada beranekaragam mikroba untuk memanfaatkannya dan mengurangi tekanan kompetisi. Sekelompok bakteri yang mendominasi lingkungan perairan karena melimpahnya nutrisi tertentu akan berkompetisi diantara sesamanya ketika nutrisi tersebut mulai habis. Metabolit sekunder dikeluarkan untuk menekan pertumbuhan komunitas dan menghemat makanan. Metabolit sekunder ini seringkali berefek toksik bagi ikan.

Teknik RABAL

Teknik RABAL adalah memanfaatkan mikroba fermentatif ragi dan bakteri asam laktat (BAL) untuk menyehatkan air. Hasil fermentasi dari bakteri asam laktat yakni asam lemak rantai pendek dan bakteriosin dapat menekan pertumbuhan bakteri pathogen (Defoirdt et al. 2007; Zacharof and Lovitt 2012). Produk lainnya seperti eksopolisakarida berfungsi sebagai antioksidan yang efektif untuk menangkal radikal bebas hasil dekomposisi mikroba (Kodali and Sen 2008). Mikroba fermentatif menguntungkan karena mengkonsumsi lebih sedikit oksigen, tidak menimbulkan bau (putrefaksi) dan sedikit menghasilkan protease. Senyawa yang dihasilkannya meningkatkan kekebalan tubuh udang dengan menyuplai antioksidan (Rekha and Vijayalakshmi 2008).

Teknik Azotrof


Teknik azotrof memanfaatkan Azolla sp sebagai bahan fermentasi untuk menyehatkan air. Azolla atau dalam bahasa populernya disebut duckweed adalah tanaman air berukuran mini yang mampu menambat nitrogen bebas saat nitrogen anorganik tidak tersedia di air. Azolla memiliki kandungan protein sampai dengan 25% dengan kadar air 95% (El-Sayed 1992). Metabolit sekunder Azolla sangat menarik karena mengandung quercetin dan rutin yang juga terdapat pada bawang merah. Zat ini memiliki sifat antimikrobial (Selvaraj, Chowdhury, and Bhattacharjee 2014; Nazni and Dharmaligam 2014). Selain itu senyawa fitokimia yang terkandung di dalam tanaman ini seperti flavonoid, terpenoid dan steroid berfungsi sebagai antioksidan (Mithraja et al. 2011).


Teknik Mikroaerofil

Pada masa-masa akhir budidaya lele tanpa ganti air, kebutuhan oksigen sangat tinggi karena biomassa ikan yang bertambah dan beban bahan organik yang sangat tinggi. Pemberian aerasi pada saat ini tidak akan dapat meningkatkan kelarutan oksigen karena akan segera habis digunakan untuk dekomposisi. Karena kekurangan oksigen, mikroba mengambil oksigen dari nitrat dan sulfat sehingga dapat berefek pada akumulasi amonia dan asam sulfida. Jika kondisi ini tidak dicegah maka ikan lele akan keracunan. Kondisi ini dapat diatasi dengan pemberian bakteri fotosintetik, heterotrofik nitrifikator-denitrifikator.


Titik Kontrol Ketika Komunitas Mikroba Sehat Runtuh

Pada kondisi tertentu seperti cuaca yang tidak menentu, akan terjadi goncangan fisik terhadap mikroba. Mikroba yang menguntungkan dapat menurun populasinya dan tergantikan oleh mikroba lain yang berpotensi pathogen. Pada kondisi yang dapat dilakukan adalah dengan mengganti air dengan tandon yang sudah disiapkan dengan suhu sama dengan kondisi kolam. Penyerap bahan organik seperti arang, silikat dan zeolit dapat diberikan dengan cara digantung pada dinding kolam untuk menyerap bahan organik terlarut yang berpotensi terdekomposisi menjadi gas beracun. Suplemen tambahan berupa fermentasi ekstrak buah dapat diberikan untuk meningkatkan kekebalan tubuh ikan. Setelah fluktuasi mereda mikroba menguntungkan dapat dimasukkan kembali.


Referensi

Atlas, R.M., and R. Bartha. 1998. Microbial Ecology: Fundamentals and Applications. 4th ed. California, USA: Benjamin/Cummings Science Publishing.
Belão, T. C., C. a. C. Leite, L. H. Florindo, A. L. Kalinin, and F. T. Rantin. 2011. “Cardiorespiratory Responses to Hypoxia in the African Catfish, Clarias Gariepinus (Burchell 1822), an Air-Breathing Fish.” Journal of Comparative Physiology B 181 (7): 905–16.
Defoirdt, Tom, Nico Boon, Patrick Sorgeloos, Willy Verstraete, and Peter Bossier. 2007. “Alternatives to Antibiotics to Control Bacterial Infections: Luminescent Vibriosis in Aquaculture as an Example.” Trends in Biotechnology 25 (10): 472–79.
De Schryver, P, T. Defoirdt, N. Boon, W. Verstraete, and P. Bossier. 2012. “Managing the Microbiota in Aquaculture Systems for Disease Prevention and Control.” In Infectious Disease in Aquaculture; Prevention and Control, edited by B Austin, 394–418. UK: Woodhead Publishing Limited.
Dunnick, June K., and Ronald L. Melnick. 1993. “Assessment of the Carcinogenic Potential of Chlorinated Water: Experimental Studies of Chlorine, Chloramine, and Trihalomethanes.” Journal of the National Cancer Institute 85 (10): 817–22.
El-Sayed, A.-F. M. 1992. “Effects of Substituting Fish Meal with Azolla Pinnata in Practical Diets for Fingerling and Adult Nile Tilapia, Oreochromis Niloticus (L.).” Aquaculture Research 23 (2): 167–73.
Friedrich, C G. 1998. “Physiology and Genetics of Sulfur-Oxidizing Bacteria.” Advances in Microbial Physiology 39: 235–89.
Imhoff, J.f., A. Hiraishi, and J Suling. 2005. “Anoxygenic Phototrophic Purple Bacteria.” In Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology, 2nd ed., 2A:119–32. USA: Springer.
Kodali, Vidya Prabhakar, and Ramkrishna Sen. 2008. “Antioxidant and Free Radical Scavenging Activities of an Exopolysaccharide from a Probiotic Bacterium.” Biotechnology Journal 3 (2): 245–51.
Komulainen, Hannu, Sirkka-Liisa Vaittinen, Terttu Vartiainen, Jouko Tuomisto, Veli-Matti Kosma, Eila Kaliste-Korhonen, Simo Lötjönen, and Raimo K. Tuominen. 1997. “Carcinogenicity of the Drinking Water Mutagen 3-Chloro-4-(dichloromethyl)-5-Hydroxy-2(5H)-Furanone in the Rat.” Journal of the National Cancer Institute 89 (12): 848–56.
Lavilla-Pitogo, C.R, Albright, and M.G Paner. 1998. “Will Microbial Manipulation Sustain the Ecological Balance in Shrimp (Penaeus Monodon) Hatcheries?” In Advances in Shrimp Biotechnology, edited by Timothy W. Flegel, 185–91. Bangkok: National Center for Genetic Engineering and Biotechnology.
Madigan, M.T., and D.O. Jung. 2009. “An Overview of Purple Bacteria: Systematics,  Physiology, and Habitats.” In The Purple Phototrophic Bacteria, edited by C.N Hunter, F Daldal, M.C. Thurnauer, and J.T. Beatty, 28:1–15. Netherlands: Springer.
McDonald, Thomas, and Hannun Komulainen. 2005. “Carcinogenicity of the Chlorination Disinfection By-Product MX.” Journal of Environmental Science and Health, Part C 23 (2): 163–214.
Mithraja, Muraleedharannair Jalajakumari, Johnson Marimuthu @ Antonisamy, Mony Mahesh, Zachariah Miller Paul, and Solomon Jeeva. 2011. “Phytochemical Studies on Azolla Pinnata R. Br., Marsilea Minuta L. and Salvinia Molesta Mitch.” Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine 1 (1, Supplement): S26–29.
Nazni, P., and R. Dharmaligam. 2014. “Isolation and Separation of Phenolic Compound from Coriander Flowers.” International Journal of Agricultural and Food Science 41: 13–21.
Nazzaro, Filomena, Florinda Fratianni, and Raffaele Coppola. 2013. “Quorum Sensing and Phytochemicals.” International Journal of Molecular Sciences 14 (6): 12607–19.
Niel, C. B. van. 1944. “The Culture, General Physiology, Morphology, and Classification of the Non-Sulfur Purple and Brown Bacteria.” Bacteriological Reviews 8 (1): 1–118.
Rekha, C. R., and G. Vijayalakshmi. 2008. “Biomolecules and Nutritional Quality of Soymilk Fermented with Probiotic Yeast and Bacteria.” Applied Biochemistry and Biotechnology 151 (2-3): 452–63.
Satoh, Toshio, Yasuo Hoshino, and Hiroshi Kitamura. 1976. “Rhodopseudomonas Sphaeroides Forma Sp. Denitrificans, a Denitrifying Strain as a Subspecies of Rhodopseudomonas Sphaeroides.” Archives of Microbiology 108 (3): 265–69.
Selvaraj, K., R. Chowdhury, and C. Bhattacharjee. 2014. “Optimization of the Solvent Extraction of Bioactive Polyphenolic Compounds from Aquatic Fern Azolla Microphylla Using Response Surface Methodology.” International Food Research Journal 21 (4): 1559–67.
Shipman, R.H., L.T. Fan, and I.C. Kao. 1977. “Single-Cell Protein Production by Photosynthetic Bacteria.” Advances in Applied Microbiology 21: 161–82.
Skjermo, Jorunn, and Olav Vadstein. 1999. “Techniques for Microbial Control in the Intensive Rearing of Marine Larvae.” Aquaculture 177 (1–4): 333–43.
Skjermo, J., I. Saivesen, G. Oie, Y. Olsen, and O. Vadstein. 1997. “Microbially  Matured  Water:  A Technique  for Selection  of  a Non-Opportunistic  Bacterial Flora  in  Water  That  May  Improve Performance of  Marine  Larvae.” Aquaculture International 5: 13–28.
Van de Nieuwegiessen, Pascal G., Annette S. Boerlage, Johan A. J. Verreth, and Johan W. Schrama. 2008. “Assessing the Effects of a Chronic Stressor, Stocking Density, on Welfare Indicators of Juvenile African Catfish, Clarias Gariepinus Burchell.” Applied Animal Behaviour Science 115 (3–4): 233–43.
Verlhac, viviane, Alex Obach, Jacques Gabaudan, Willy Schuep, and Reid Hole. 1998. “Immunomodulation by Dietary Vitamin C and Glucan in Rainbow Trout (Oncorhynchus Mykiss).” Fish & Shellfish Immunology 8 (6): 409–24.
Whittington, Richard J., Paul M. Hick, Olivia Evans, Ana Rubio, Bruce Alford, Navneet Dhand, and Ika Paul-Pont. 2015. “Protection of Pacific Oyster (Crassostrea Gigas) Spat from Mortality due to Ostreid Herpesvirus 1 (OsHV-1 μVar) Using Simple Treatments of Incoming Seawater in Land-Based Upwellers.” Aquaculture 437 (February): 10–20.
Zacharof, M. P., and R. W. Lovitt. 2012. “Bacteriocins Produced by Lactic Acid Bacteria a Review Article.” APCBEE Procedia, 3rd International Conference on Biotechnology and Food Science (ICBFS 2012), April 7-8, 2012, 2: 50–56.