15/12/08

Polikultur Udang Windu-Bandeng Tradisional

 @Ibnu Sahidhir
Menurut Kungvankij (1984) Budidaya udang laut telah dilakukan berabad-abad oleh negara-negara di Asia. Udang secara tidak sengaja masuk ke dalam tambak bandeng saat air pasang dan dipanen sebagai hasil sampingan dari bandeng. Kemudian seiring dengan harga udang yang lebih tinggi dibanding bandeng akhirnya udang dibudidayakan sebagai komoditas utama amun sifat polikultur masih tetap dipetahankan. Dari semua jenis udang yang pernah dibudidayakan udang windu adalah udang yang paling cepat pertumbuhannya. Dari post larva sampai pemeliharaan 5 bulan udang windu bisa mencapai ukuran 75 gram dengan padat tebar 5000 ekor/ha.


Tambak udang windu pada umumnya berair dangkal sehingga fluktuasi suhu tinggi. Keterbukaan tambak dengan perairan mengakibatkan banyak predator masuk. Kedua faktor tersebut mengakibatkan mortalitas tinggi dan berakibat menurunnya hasil panen. Ciri lain adalah padat tebar rendah sekitar 3000-5000 ekor/ha atau 1-3 ekor/ha menurut Primavera (1998), bentuk dan ukuran kolam tidak teratur, input finansial dan teknis relatif rendah, tidak ada pakan tambahan dan pengelolaan air berdasarkan fluktuasi pasang-surut. Beberapa hal ini mengakibatkan produksi rendah yaitu sekitar 100-300 kg/ha/tahun masih tetap menguntungkan karena rendahnya harga tanah serta permintaan pasar dan harga ekspor tinggi (Kungvankij, 1984).

Berdasarkan Adiwidjaya et al (2001) Secara garis besar kegiatan usaha budidaya polikultur udang windu-bandeng tradisional meliputi persiapan tambak, adaptasi benih, pemeliharaan dan panen.

1. Persiapan tambak

Tujuan Persiapan tambak adalah untuk memperoleh kondisi lingkungan yang optimal bagi kultivan secara fisik, biologi dan kimia. Kegiatan ini meliputi pemberantasan hama, pengeringan tambak, perbaikan pematang, perbaikan pintu air, perbaikan caren dan saluran air, pengapuran tambak, pemasukan air dan penyiapan air media.
Pemberantasan hama dilakukan pada saat masih ada air. Bahan yang digunakan adalah pestisida sintetis (contoh; brestan, kaporit) dan pestisida nabati (contoh; saponin,akar tuba, tembakau). Pestisida sintetis diberikan saat air dalam kondisi macak-macak (5 cm) dengan disebar merata, kemudian dibiarkan selama 15-21 hari agar trisipan terbunuh total. Saponin bisa diberikan jika masih ada ikan liar. Kaporit bisa diberikan untuk memberantas ikan dan krustase liar dengan ketinggian air 15-25 cm.
Dasar tambak dikeringkan dengan kondisi lembab, kemudian lumpur diangkat ke pematang sekaligus memperbaiki pematang yang bocor. Bila pH tanah kurang dari 6,5 pengapuran perlu dilakukan dengan dosis 500-1000 kg/ha. Kapur diberikan 60% sebelum pembalikan tanah dan 40% sesudah pembalikan tanah (sedalam 25 cm). pengeringan total bisa dilakukan 7-10 hari jika intensitas cahaya matahari mencukupi. Kegiatan yang seiring dengan proses ini adalah perbaikan pintu dan pemasangan saringannya.
Penyiapan air media dianggap cukup jika kondisi kualitas air stabil. Sebelum air dimasukkan kelayakan pH tanah harus dicek terlebih dulu. Air dimasukkan pada saat pasang tinggi (1,2-2,4 m) dengan memeriksa kualitas sumber air terlebih dulu. Air perlu dibiarkan 2-5 hari setelah terisi penuh untuk mengetahui tingkat perembesan dan penguapan. Air kemudian diperiksa kelayakannya. Jika kondisi kualitas air dinyatakan layak maka bisa dilakukan pemberian pupuk anorganik (urea 50 kg/ha dan TSP/NPK 200-300kg/ha) atau pupuk organik (kompos 3 ton/ha atau kotoran hewan 1-3 ton/ha). Dalam waktu 7-10 hari pakan alami akan tumbuh (fitoplankton dan makroalga).

2. Adaptasi dan penebaran benih

Benih udang (benur) di pasaran umumnya adalah PL 12-25 sedangkan benih bandeng (nener) berukuran 2-3 cm. Benih bisa dibeli langsung dari hatcheri atau lewat perantara. Penebaran udang dilakukan terlebih dulu daripada bandeng. Sebelum benih ditebar maka benih dalam kantong plastik ini perlu diaklimatisasi yaitu pengadaptasian dulu dengan kondisi air dalam tambak (suhu, salinitas, pH) selama 15-30 menit. Pengadaptasian dilakukan dengan cara mengapungkan plastik di air tambak, mengisinya dengan air sedikit demi sedikit.
Jika ukuran masih dianggap kecil benih dapat terlebih dulu didederkan sampai ukuran yang dinginkan. Dalam pendederan ini benih dipelihara dalam sebuah petakan kecil dalam tambak yang disebut sebagai pinihan. Jika ukuran yang diinginkan sudah tercapai maka bisa dilakukan penebaran dengan membuka petakan dan membiarkan udang menyebar ke seluruh bagian tambak. Waktu penebaran yang terbaik adalah pagi atau sore hari. Untuk budidaya tradisional padat tebar udang maksimal adalah 3 ekor/m2 sedangkan bandeng 2.500-5.000 ekor/ha.

3. Pemeliharaan

Tahap pemeliharaan memerlukan waktu paling lama dibanding tahap budidaya yang lain. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah pengelolaan fitoplankton dan klekap, pengaturan air, monitoring hama dan penyakit, dan pemupukan susulan. Warna air yang baik adalah hijau kekuningan yang menandakan pertumbuhan alga hijau dan diatom. Klekap yang baik bertekstur lembut tumbuh di dasar tambak dan tidak mengapung di air. Pertumbuhan klekap yang pesat pada awal pemeliharaan dapat mengganggu gerak udang. Oleh karena itu perlu dilakukan pemberian jalan dengan menyibak klekap. Jika kondisi air kurang baik penggantian dapat dilakukan dengan memanfaatkan pasang surut. Pada hari tertentu udang dan bandeng juga perlu diambil untuk melihat pertumbuhannya. Pengamatan kesehatan dilakukan setiap hari untuk mengantisipasi kematian massal. Pemupukan susulan bisa dilakukan jika kondisi pakan alami dianggap berkualitas rendah.

4. Pemanenan

Pada umumnya pemanenan dilakukan pada umur 120 hari (DOC) tetapi kenyataan di lapangan waktu pemanenan bergantung pada kondisi kultivan. Pemanenan bisa dilakukan secara bertahap atau total. Udang lebih mudah dipanen dengan bertahap daripada bandeng. Alat panen meliputi bubu dan sero untuk panen sebagian dan jaring untuk panen total. Bubu dan sero lebih menjamin kualitas fisik udang dan biasanya digunakan saat air pasang dimana udang mencari air segar. Panen sebaiknya dilakukan pada dini hari atau sore hari saat udara dingin.